ANTARA ISA DAN KEBERMAKNAAN BAGI SESAMA
ISA
kepada nasrani sejati
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
rubuh
patah
mendampar tanya: aku salah?
Kulihat Tubuh mengucur darah
aku berkaca dalam darah
terbayang terang di mata masa
bertukar rupa ini segara
mengatup luka aku bersuka
Itu Tubuh
mengucur darah
mengucur darah
(Chairil Anwar, 12 November 1943)
Sejenak puisi
bernada religi ini berhasil dikemas serupa parsel, kado permenungan dalam nafas
sastra bagi umat Kristiani yang sejak dicipta pada 1943 masih terus kita
rasakan ‘kekiniannya’. Pada deret kata,
“Kulihat Tubuh mengucur darah / aku berkaca dalam darah / terbayang terang di
mata masa / bertukar rupa ini segara / mengatup luka aku bersuka // Itu Tubuh /
mengucur darah / mengucur darah // ,” betapa kekuatan pengorbanan dari Putera
Bapa mengejawantah dalam bentuk Salib, tidak hanya membuahkan bahagia namun
janji keselamatan bagi kita yang
meyakininya.
Berabad
kemudian, Salib yang awalnya simbol kehinaan diubah melalui darah Putera-Nya
menjadi lambang keselamatan, diperingati dan dirayakan. Menjadi tradisi yang
tak hanya berhenti pada prosesi, namun merupakan denyut nadi bagi seluruh umat Kristiani. Seperti pada
tahun-tahun sebelumnya, Gereja Katolik seluruh dunia memperingati dan merayakan
Kebangkitan Kristus dan penebusan umat manusia melalui rangkaian prosesi yang
dipakemkan oleh gereja. Tak terkecuali Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi
Singkawang. Diawali Misa Rabu Abu, sebagai pemantik masa pertobatan. Seolah
menjadi simbol awal mula masa permenungan dan evaluasi diri, Rabu Abu tahun ini
jatuh pada 18 Februari 2015, berselang empat puluh hari menjelang Pekan Suci
yang dimulai pada Minggu Palma, 29 Maret 2015, dilanjutkan Kamis Putih, Jumat
Agung, dan Sabtu Suci, berturut-turut dirayakan pada 2 hingga 4 April 2015, serta
puncaknya pada perayaan Paskah yang jatuh pada Minggu, 5 April 2015.
Pada perayaan
Paskah tahun ini, seluruh umat Gereja Katolik St. Fransiskus Assisi mengambil
peran masing-masing. Meski dirayakan dengan sederhana, namun tetap menjaga
makna utama. Tak ada dekorasi berlebihan, segalanya sesuai takaran. Hanya saja
tetap ada yang istimewa dalam setiap persembahan. Seperti drama penyaliban pada
Jumat pagi sebelum upacara penghormatan Salib pada sore harinya. Kegiatan yang
biasanya digelar di dalam gereja, tahun ini terasa istimewa karena
pelaksanaannya dilakukan di halaman gereja. Drama penyaliban yang diperankan oleh
OMK terpapar apik, mangkus menggerus sisi emosi manusiawi. Tak sedikit umat
berlinang air mata kala membayangkan Sang Juru Selamat diperlakukan begitu
rupa. Demikian pula pada Jumat sore harinya, paduan suara maupun pasio kisah
sengsara, sukses membuat rawan perasaan umat yang datang. Berlanjut pada Sabtu,
malam Paskah, suara-suara merdu kelompok koor berhasil melangitkan madah yang
indah dalam kesyahduan cahaya lilin Paskah. Dan puncaknya pada gempita Minggu
Paskah. Semua larut dalam bahagia oleh penyelamatan Anak Domba.
Rasanya lebih
dari sekadar peringatan dan perayaan tahunan yang akan terus-menerus berulang. Umat
Kristiani diajak bangkit dari ekstase yang selama ini seolah meninabobokan.
Kita diseru oleh pimpinan tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus dalam Urbi Et Orbi yang masih mengetengahkan pesan
perdamaian, dan kita sebagai umat
Kristiani yang dipenuhi oleh rahmat Kristus, yang wafat dan bangkit adalah
benih-benih kemanusiaan yang lain, yang di dalamnya kita berusaha hidup dalam
pelayanan bagi orang lain, tidak sombong, melainkan penuh hormat dan siap
membantu.
Kiranya semangat dan kesadaran yang diawali serta didasari keyakinan
tentang darah yang terkucur dari tubuh Kristus tak hanya berkisar seperti yang
tertera dalam kalimat puisi yang ditulis oleh Chairil Anwar pada 1943: “mengatup luka aku bersuka”. Tak hanya berhenti pada kata ‘bersuka’, namun lebih dari itu, mengajak kita bangkit dari
kebergemingan pada zona nyaman dalam bentuk tindakan nyata, yakni kebermaknaan
bagi sesama. Selamat Paskah! (Hes)