DI BALIK PENAMPILAN LUSUHNYA
Penampilannya lusuh. Jaket usang melekat pada tubuhnya.Pa yung di tangan kanan dan tangan kirinya menenteng ember alumunium. Rambut dibiarkan acak-acakan, tanpa disisir. Jelas sekali bahwa dia tidak pernah berdandan seperti perempuan pada umumnya. Bahkan mungkin juga dia jarang mandi. Dari guratan di wajahnya bisa ditebak kalau usianya sudah di atas 50 tahunan. Namun tidak kelihatan adanya rasa lelah pada raut wajahnya. Terbukti hampir setiap saat dia selalu tersenyum. Kadang dia juga bisa tertawa lepas, tanpa rasa malu sedikitpun memamerkan giginya yang tinggal satu atau dua saja. Dari penampilan lahiriah jelas tidak ada daya tarik sedikitpun. Sepintas tidak ada yang istimewa padanya. Begitulah kesan pertama saya berjumpa dengan dia.
“Slamat pagi, Bang! Puji Tuhan! Amin! Alleluya!” Kata-kata itu selalu meluncur dari mulutnya. Dialah seorang ibu yang sering mendatangi saya di kamar kerja. Tanpa basa-basi, ibu itu langsung masuk begitu saja dan duduk di hadapan saya. Tanggapan saya pun sekedarnya saja. Seperti biasa tanpa mempedulikan kehadirannya saya tetap saja melanjutkan apa yang sedang saya kerjakan, seolah ibu itu tidak ada. Saya juga merasa tidak perlu mengenalnya lebih jauh tentang siapa dia. Macam-macam pertanyaan ditujukan kepada saya dan saya pun menjawab sekenanya saja. Di penghujung perjumpaan itu dia meminta sedekah. Dua atau tiga lembar uang seribuan saya berikan kepadanya. Mata Ibu itu langsung berbinar senang. Tanpa melepaskan pandangannya kepada saya dia mengucapkan terima kasih sambil berkata sekali lagi kepada saya. “Puji Tuhan, Bang! Amin! Alleluya!”
Ritus itulah yang selalu saya alami ketika menerima “tamu istimewa” yang satu ini. Tetapi daripada merepotkan diri sendiri, akhirnya saya pun selalu membiarkan dia masuk ke kamar kerja saya, bertanya macam-macam dan akhirnya meminta sedekah. Setelah sebentar ‘diganggu’ oleh kehadirannya, saya pun memberikan sedekah sekedarnya dengan harapan supaya dia pun segera pergi dan saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya.
Sekali waktu ibu itu membuat saya kesal. Ketika itu saya sedang meninggalkan kamar saya tanpa mengunci pintu lebih dahulu. Ketika kembali ke kamar, saya melihat ibu itu sudah duduk di kursi yang biasa dia duduki. Spontan saya terkejut dan berbagai pikiran buruk langsung menghinggapi pikiran saya. Sebaliknya tanpa ada rasa salah sedikitpun dia tetap saja mengucapkan ‘salam khas’nya kepada saya. “Selamat pagi, Bang! Puji Tuhan! Amin! Alleluya!”. Toleransi saya kali itu sangat rendah dan saya minta supaya dia segera meninggalkan ruangan saya dengan satu pesan, “Ibu kali ini tidak sopan. Masuk ke kamar saya begitu saja. Maka saya tidak akan memberikan apapun”. Meski agak terkejut mendengar nada suara saya yang semakin meninggi, tetapi dia tetap minta dikasihani. Saya tak mengacuhkan permintaannya dan tidak memberikan apapun kepadanya. Ini sebagai pendidikan sopan-santun baginya, pikir saya. Dia pun segera bangkit berdiri sambil menyampaikan salam khasnya untuk saya. “Puji Tuhan, Bang! Amin! Alleluya!”
Lama tidak ada berita. Tamu istimewa saya pun tidak pernah lagi singgah ke kamar saya. Boleh jadi dia takut bertemu dengan saya. Atau mungkin ada rasa bersalah dalam dirinya. Saya pun tidak mau ambil peduli. Sampai suatu saat seorang sahabat mengajak saya untuk berbagi kasih dengan membagi-bagikan sembako. Tawaran itu saya tanggapi dengan senang hati. Setelah mengantar paket sembako kepada beberapa orang yang tidak mampu, akhirnya kami tiba di suatu rumah yang sempat menyita perhatian saya. Di emperan rumah terlihat seorang bapak sedang berbaring, tanpa baju dan hanya beralaskan bantal di kepalanya. Dia sama sekali tak mempedulikan kedatangan kami. Asyik dengan dirinya. Sementara itu seorang gadis yang sedang menggendong anak kecil segera memanggil-manggil nama seseorang. Tiba-tiba keluarlah seorang nenek dengan tertatih-tatih dari kamarnya. Dia berusaha untuk menemui kami. Tangannya meraba-raba dinding dan berusaha menggapai apa saja yang ada di depannya agar tidak terjatuh. Sahabat saya yang sudah dikenalnya segera memapahnya dan memberikan kursi. Akhirnya mereka pun terlibat dalam pembicaraan yang begitu hangat. Sementara saya hanya duduk terpekur sambil bermenung. Ada rasa miris dalam hati melihat keadaan yang tersaji di hadapan mata saya. Sebuah keluarga yang benar-benar miskin. Ada seorang nenek yang menderita tuna netra, seorang bapak yang juga sedang sakit, seorang gadis dengan anak kecil. Semuanya tidak berdaya. Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab dan memberi penghidupan untuk mereka? Pertanyaan itulah yang mengganggu pikiran saya.
Dalam perjalanan pulang ke rumah pertanyaan yang berkecamuk dalam pikiran saya akhirnya menemukan jawabannya.
“Pater, kenal dengan seorang ibu yang biasa pakai jaket, bawa payung dan ember alumunium?” Tanya sahabat saya tiba-tiba memecah kesunyian. Pertanyaan itu spontan mengingatkan saya akan tamu istimewa yang sudah lama tidak mampir ke kamar saya.
“Oh iya, iya saya kenal. Dulu biasa mampir ke kamar saya. Tetapi belakangan ini tidak lagi. Ada apa dengan dia?” Tanya saya kepadanya.
“Dialah yang menghidupi keluarga yang baru saja kita kunjungi. Dia tidak di rumah karena sedang mencari makan.” Kata teman saya seolah ingin memberikan jawaban kepada saya.
Serasa hampir copot jantung saya mendengar jawabannya. Rasa sesak langsung menyergap dada saya begitu mengetahui bahwa ternyata tamu yang menghilang selama ini menjadi orang yang sangat berarti untuk keluarga miskin tadi. Belakangan saya baru tahu Ibu itu bernama Jong Siau Yan. Bapak yang berbaring di halaman itu adalah ayah kandungnya yang memang sakit, sedangkan ibu yang tuna netra adalah ibunya, gadis yang menggendong anak kecil itu adalah anak dan cucunya sendiri. Jong Siau Yan yang sudah diceraikan oleh suaminya harus berkeliling menjual nasi ketan untuk bisa menghidupi seluruh anggota keluarganya. Dia harus bertarung dengan kerasnya hidup. Dia rela tidak berdandan, rela tidak punya apa-apa dan setiap hari harus berjalan keliling menjajakan nasi ketannya demi menyambung nyawa ayah, ibu, anak dan cucunya. Dalam hati saya terlontar rasa sesal. Tuhan ampuni saya atas sikap saya yang kurang pantas kepadanya. Siau Yan maafkan saya yang selama ini tidak ambil peduli dengan Ibu. Tenyata di balik penampilan lusuhmu, Ibu mempunyai hati yang sngat mulia. (Gathot)