WE LIVE, WE LEARN, AND WE UPGRADE
(DAPATKAH AKU TAHU KEHENDAK TUHAN DALAM HIDUP KU?)
Image by Google |
Seseorang mungkin pernah merasa bahwa tanggung jawab dunia itu ada di pundaknya. Merasa bahwa ada beban yang menekan bahunya dengan sangat kuat hingga menghimpit paru-parunya. Dan akhirnya, orang itu jadi susah bernapas. Bagi yang memiliki riwayat penyakit jantung mungkin harus berhati-hati.
Lamanunanku terantuk pada hal itu ketika aku duduk terpaku bak orang yang putus cinta di halaman gereja “Damai Bagimu”. Angin sepoi yang membelai wajahku mampu mengajakku masuk jauh lebih dalam menggali memori beberapa waktu ke belakang. Meskipun tidak ada lagi kabut asap yang menghalangi pandangan, namun sepertinya banyak sekali asap yang masih berputar-putar di dalam kepala ini, waktu itu.
Aku teringat seseorang yang memiliki romantisme dengan masalah. Seperti masalah itu adalah bulan madu baginya. Atau seseorang yang merasa banyak hal yang harus dikerjakannya sehingga cara hidupnya harus berjalan monoton. Tidak pandai cara menikmati kesenangan selain tumpukan tugas dan misi pribadi yang harus diselesaikan. Aku harap ia masih ingat cara untuk tersenyum.
Ya, tersenyum saat gembira itu biasa tapi tersenyum saat ujian menyapa itu luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kalau kata Aristoteles, dibutuhkan kecerdasan secara emosional untuk dapat melakukannya. Sebagai manusia yang penuh dengan berjuta kelemahan, kita tidak bisa menafikan hal itu. Terkadang masalah pribadi datang bertubi-tubi, belum lagi pekerjaan yang membuat jengkel, tumpukan pekerjaan rumah yang tiada habisnya, serta semua hal yang sangat mempengaruhi kredibilitas serta image kita di mata orang lain. Percayalah, hidup ini tak sekejam sinetron Indonesia tapi juga tak seindah drama Korea.
Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, aku akan memberi kelegaan kepadamu (Mat 11:28). Terkadang kita lupa dengan itu. Seperti bahwa dalam hidup ini kita menanggung masalah kita sendiri. Tidak jarang masalah itu memengaruhi cara bergaul kita dengan orang lain dan cara kita berserah pada Tuhan. Dengan masalahnya menganggap kalau mereka adalah prioritas. Ada keangkuhan pribadi ingin terlihat lebih besar daripada yang lain dengan masalah itu.
Ini bukan ajang pengadilan sebagai bentuk pembenaran atau menghakimi. Hanya menilik sedikit ke dalam kalbu ini. Untuk beberapa kasus, kita mungkin bisa bergembira dengan dengan siapa saja namun kita tidak bahagia. Semua pasti setuju jika dikatakan uang tidak bisa memberikan kebahagiaan. Tapi bagaimana dengan uang dalam jumlah besar dan masuk rekening secara rutin?
Marilah kepada-Ku, itu artinya sebuah undangan. Tuhan menawarkan bahu-Nya untuk kita bersandar. Dia sendiri yang mewarkan, lalu kenapa kita menolak? Undangan untuk meletakkan beban kita, tidak menanggungnya sendiri dan berserah pada-Nya. Lalu bagaimana cara kita menerima undangan itu?
Milikilah keintiman dengan Tuhan. Memberikan waktu teduh untuk kita berbicara dengan-Nya. Ketuk rumah Tuhan dan katakan kita merasa lelah dan ingin istirahat sejenak. Kita datang dengan hati yang benar-benar mau berubah, rindu akan Dia dan hadirat-Nya. Bagian kita hanya melakukan apa yang bisa kita lakukan dengan usaha terbaik kita dan biarkan sisanya menjadi pekerjaan Tuhan. Percayakan pada Tuhan hal-hal yang tidak bisa kita kerjakan atau kendalikan.
Memuji Tuhan dengan segenap hati. Puji Dia dengan segenap hati bukan hanya di mulut saja. Apa yang kita rasakan sampaikan kepada-Nya. Karena nyanyian itu adalah doa hadirat Tuhan yang dituangkan dalam lantunan lirik dan not balok.
Baca firman-Nya. Carilah firman itu, renungkan, hafalkan dan klain janji -Nya. Ia sendiri telah memikul dosaku dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya aku, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya aku telah sembuh (1 Petrus 2:24). Percaya akan firman-Nya sebab Dia tidak akan pernah meninggalkan kita.
Lalu apa itu letih lesu dan berbeban berat? Itu adalah keadaan tanpa semangat, tidak ada pengharapan, khawatiran. Sebuah keadaan yang dapat membuat kita menjadi tokoh antagonis. Kita letih lesu oleh persoalah hidup dan beban dosa kita.
Ya, pada akhirnya aku menulis bukan untuk membuktikan siapa aku. Menunjukkan setinggi apa ilmu yang aku miliki, seluas apa kebijaksaan ku atau sebesar apa pengakuan yang ku harapkan. Aku ingin menunjukkan betapa kurangnya diri ini dengan lamunan yang sedikit mengupas kulit pembungkus kerapuhan yang ditutupi. Terkadang tidak ada salahnya kita menyempatkan diri untuk berbicara dengan diri sendiri. Mengukur bagaimana kita mengukir jalan untuk bisa digunakan oleh orang lain, memperbaiki setiap langkah yang mungkin memengaruhi jalan orang lain, menjadi jembatan bagi jalan yang lebih baik dan mengorbankan beberapa bagian dalam diri kita meski yang didapat tidak lebih besar dari pengorbanan.
Sebab kehidupan tidak diukur dari goresan tinta yang telah dibubuhkan pada kertas. Tapi pada aksi yang memberikan makna bagi orang lain. Hidup tidak diukur dari banyaknya udara yang kita hirup, tapi dari momen-momen yang membuat kita sulit bernapas. Beban salib dalam hidup akan selalu ada karena itu adalah ujian bagi setiap yang hidup untuk semakin dekat dengan-Nya. Tidak ada salahnya meletakkan beban itu sejenak dan melegakan diri. You live, you learn and you upgrade!
Tuhan……
Jika aku terlalu kecil untuk melihat kebesaran kasih-Mu
Berikan aku kesempatan untuk menapaki puncak Kalvari-Mu
Demi melihat keagungan karunia-Mu
(Sabar Panggabean)