“Mentari Pembawa Cahaya”
Google Images.Jpg |
“Tak peduli dari mana asalmu, lahir di pelosok perdesaan ataupun perkotaan dan dari rahim orang tua manakah kamu berasal itu bukan menjadi persoalan. Yang terpenting adalah kebaikan hatimu. Hati yang membawa seberkas cahaya bagi dirimu sendiri dan dunia sekitarmu.”
Pesan itu jelas teringat kembali di benak Mentari. Pesan yang sangat kuat menyatu dalam hatinya. Tetua Dusun Paratisara yang bernama Pak Tua Sastranarendra selalu memberikan petuah-petuah bijak kepada putri angkat kesayangannya. Pak Tua selalu berkata kepada Mentari, tidak perlu malu dan merasa rendah diri tentang siapa diri kita. Kita yang berasal dari rumah pondok beralaskan tanah dengan memiliki niat mulia bagi kehidupan suatu saat akan berjodoh dengan nasib baik yang akan merubah keadaan dan dunia sekitarmu.
Mentari, gadis remaja yang berusia 13 tahun. Hidup di sebuah dusun pedalaman hutan karet, ladang dan sawah yang menghijau. Kedua orang tuanya telah lama tiada sejak kebakaran hutan yang membakar habis rumah beserta ladang dan merenggut nyawa kedua orang tua yang amat ia cintai. Sejak berumur 5 tahun, Mentari sudah dititipkan dengan Pak Tua “Ketua Adat” di dusun itu. Beliau hidup sangat sederhana bersama istrinya bernama “Mak Tua Amora”. Sejak kecil ia dididik untuk selalu dekat dengan alam semesta sumber kehidupan bagi umat manusia.
Selepas bangun pagi, Mentari selalu diajak Pak Tua menuju sungai kecil di sekitar sawah padi milik tetangga mereka. Di tempat itulah mereka biasanya melakukan rutinitas keheningan. Berterima kasih kepada alam semesta. Konon, kata Pak Tua jika kita selalu berbakti kepada alam semesta maka kita akan dilindungi dan diberkati senantiasa. Sambil meminum aliran air sungai kecil di pancuran bambu, mereka bersama-sama mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Berterima kasih pada gunung, sawah, hutan, sungai, langit, tanah, udara, angin, air, hujan, matahari, pelangi, hewan, tumbuhan dan segala semesta seisinya. Sejak kecil Pak Tua mengajari Mentari agar bersahabat bersama alam dan selalu menyapa mereka di mana pun ia berada.
Mentari merasakan kedekatan dengan alam semesta. Banyak bahasa semesta yang dapat ia dengar dan rasakan, seolah-olah mereka dapat berkata dan mengajari Mentari dalam bahasa heningnya. Tanah mengajarkan ia cara untuk bercocok tanam, air mengajarkan ia agar selalu tenang dan rendah hati, dari matahari ia belajar menjadi ikhlas dan adil kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Karena matahari memiliki peran kebaikan sinar yang tak terbatas tanpa membeda-bedakan. Mungkin, karena inilah kedua orang tuanya memberikan nama “Mentari” dan menambahkan nama baptis pelindung di depannya yaitu “Theresia Mentari”. Sosok matahari yang akan menginspirasi dan menjadi pedoman hidup anaknya agar kelak dapat bersinar terang penuh dengan kebaikan kepada semuanya. Itulah sedikit cerita peninggalan orang tua Mentari ketika ia lahir di Dusun Paratisara.
Daun-daun pohon bergoyang indah, seakan melambaikan tangan mengiringi langkah Mentari kemanapun ia pergi. Kehadiran semesta tampak nyata di dalam hidup Mentari mulai dari angin sepoi-sepoi yang menghiburnya kala ia kelelahan bekerja di ladang dan burung pipit yang bertengger di kepalanya bersiul-siul kecil. Mentari paling suka memandang langit biru, bersamanya ia menjadi semangat dan optimis memandang masa depan. Langit biru dengan keceriaannya selalu memberi pesan agar ia selalu giat dalam bekerja dan belajar. Terlebih lagi langit biru akan selalu menjaga ketika ia berjalan menuju sekolah di kaki bukit Hijau Permai. Di sanalah 6 tahun lamanya Mentari bersekolah hingga mendapatkan ijazah Sekolah Dasar Negeri 1 Dusun Paratisara, Kecamatan Permata, Kabupaten Mutiara.
Sejak kecil Mentari terbiasa bekerja membantu Pak Tua dan Mak Tuanya. Sepulang sekolah. ia dengan tertib menyimpan tas, sepatu sekolah dan menganti baju seragamnya. Sambil berdendang riang kecil, ia berlari pergi menuju ladang dan sawah garapan orang tua angkatnya. Ia mencabut rumput, membersihkan daun-daun kering dan gulma yang menyerang tanaman dan padi mereka. Sesekali ia beristirahat menikmati bekal makan siang yang dibawakan Mak Tua Amora. Kadang pula ia mengangkut air sungai sumber mata air pegunungan di dusun tersebut untuk persediaan air bersih di rumahnya. Semuanya Mentari lakukan dengan senang dan gembira. Mentari terkenal sangat ringan tangan, sering membantu teman sebayanya dalam bercocok tanam dan menjual hasil ladangnya di pengumpulan hasil panen rumah saudagar “Pak Tony” di dusun seberang. Hal itulah yang membuat semua orang di Dusun Paratisara mencintai dan menyayangi Mentari.
Kesibukan Mentari di malam hari adalah membuat kelompok belajar bersama anak-anak tetangga sekitarnya. Mentari yang lebih tua mengajari anak yang lebih muda, belajar membaca dan menulis. Terkadang ia memberikan pertanyaan-pertanyaan pengetahuan umum pada teman-temannya yang ia peroleh dari siaran favoritnya yaitu acara kuis di televisi ataupun buku yang telah dipelajarinya. Mereka sangat senang akan kebaikan hati si ‘guru cilik’ Mentari. Sesuatu yang sederhana dapat menjadi sangat luar biasa bagi yang mengamati dan melihat cara Mentari memberikan pengetahuan dan pengajaran bagi anak-anak lainnya. Mentari merasa bahagia dapat membagikan ilmu yang dimilikinya. Baginya berbagi ilmu adalah kebaikan tertinggi, kelak ia akan lebih mendapatkan banyak pengetahuan tak terbatas ketika ia mau berbagi kepada yang lain. Itu merupakan motto hidupnya.
Suatu hari yang cerah, burung mengangkasa membubung tinggi ke langit biru, angin semilir sepoi-sepoi bertiup seakan melodi yang berirama mengalunkan nada semesta. Kediaman Pak Tua Sastranarendra kedatangan sebuah mobil jeep merah tua. Seorang pria separuh baya memakai jubah coklat bersama seorang pemuda gagah datang mengunjungi pondok itu. Tak disangka, ternyata beliau adalah seorang Pastor Paroki yang ada di Gereja Santa Maria di Kabupaten Mutiara. Pastor Paroki itu bernama Ignatius Raymond. Sedangkan pria yang bersamanya adalah seorang pemuda yang berasal dari Jakarta yang bernama Raden Bagus Jayadiningrat. Maksud kedatangan mereka adalah ingin memberikan bantuan beasiswa bagi siswa yang berprestasi. Pastor Ignatius Raymond mengetahui bahwa selama Ia tourney ke Dusun Paratisara, ia melihat Mentari merupakan anak berbakat yang putus sekolah. Selain itu, ia juga melihat kebaikan murni yang ada di diri Mentari. Pastor Raymond yakin Mentari akan dapat menjadi seorang yang memiliki manfaat lebih bagi sesamanya.
Pemuda Raden Bagus Jayadiningrat merupakan seorang donatur yang peduli akan pendidikan anak bangsa. Ia juga memiliki sekolah yayasan SD, SMP, SMA, dan Universitas yang Ia bangun bersama donatur-donatur yang peduli akan pendidikan di Indonesia. Mendengar hal ini, Mentari berderai air mata terharu dan bahagia. Mimpinya yang semula hanya ingin menjadi guru baca dan tulis bagi teman sebayanya, ia menemukan “pintu ajaib” yang akan membawanya menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Mentari pun menyanggupi untuk bersekolah di SMP, SMA dan Universitas Yayasan “Indonesia Bangkit” milik kumpulan para donatur yang berhati malaikat itu. Dengan berat hati Pak Tua dan Mak Tua nya melepas kepergian Mentari. Pesan terakhir Mak Tua Amora kepada Mentari adalah : “Jika kamu menjadi orang besar nanti, jangan lupa kedudukan, jabatan, kekayaan, kepandaian adalah sebuah jembatan untuk menghubungkan kebaikan Tuhan yang ada di dirimu. Kamulah Mentari, bawalah cahaya itu bersama hatimu. Lakukanlah banyak kebaikan yang dapat memberikan kehidupan bagi sesama.”
Petuah-petuah bijak Pak Tua dan Mak Tua akan selalu Mentari ingat dan laksanakan dalam perjalanan hidupnya. Mentari dengan ikhlas dan penuh hormat berpamitan dengan kedua orang tua angkatnya yang sudah a anggap sebagai Ayah dan Ibu kandungnya. Ia memiliki cita-cita yang luhur, jika telah lulus nanti ia akan kembali pulang ke kampung halamannya untuk menjadi jembatan bagi anak-anak lainnya. Mentari ingin memberikan hidup bagi sesamanya yang membutuhkan dan berkekurangan.
Seseorang yang sangat menghormati alam semesta dan memiliki kebaikan murni yang berasal dari hatinya, selalu diberikan kebaikan-kebaikan oleh tangan-tangan yang tak terduga. Tetaplah memiliki kebaikan hati layaknya Mentari. Kebaikan hati itulah yang akan menjadi cahaya penuntun perjalanan hidup kita selanjutnya. (SHe)