Putri Malu Yang Menutup Diri
Pagi itu angin berhembus lembut menggerakkan ranting pohon dan dedaunan yang menghijau yang telah disegarkan oleh embun pagi, melambai manja menjanjikan sebuah harapan. Kupu-kupu yang sudah memperelok dirinya, terbang melepas rindu bertemu dengan bunga-bunga yang juga merindukannya.Dari angkasa burung-burung berkicau, mengidungkan lagu pujian dengan penuh rasa syukur kepada Sang Pencipta.
Namun suasana yang begitu bersahabat penuh kedamaian itu tidak dapat dinikmati oleh si Putri Malu. Dia merasa kesepian karena tidak ada satu makhlukpun yang mau mendekatinya. Onggokan rumput yang tinggal bersama dengan Si Putri Malu pun tidak mau menegurnya. Suasana yang sedemikian sedih yang dirasakan Si Putri Malu ini dilihat oleh Pak Tegar yang sedang berjalan di dekatnya.
Dengan lembut pak Tegar mendekati dan menyapa si Putri Malu
“Wahai Putri Malu, mengapa engkau murung dan kelihatan sedih dalam kesendirianmu. Mari kita nikmati hari ini dengah penuh keceriaan.”
“Bagaimana mungkin saya dapat hidup ceria,” sahut Si Putri Malu sambil menarik nafas panjang.
“Seluruh makhluk lain membiarkan aku hidup dalam kesendirian,” lanjut Si Putri Malu
“Lho, kok bisa begitu?” pak Tegar menimpali.
“Coba, Pak Tegar lihat. Tidak ada satupun kupu-kupu, serangga atau burung yang mau mendekatiku apalagi menegurku. Hanya Pak Tegar saja yang kebetulan lewat di dekatku,” sahut Si Putri Malu.
“Putri Malu, coba kau lihat dirimu terlebih dahulu. Mungkin semua ini terjadi karena kesalahanmu sendiri.”
Putri Malu menyahut agak keras, dia nampaknya marah, mendapat kritikan yang pedas dari pak Tegar. “Kesalahanku? Mana mungkin aku berbuat salah kepada mereka. Selama ini aku kan nggak bertegur sapa dengan mereka, Pak!”
“Justru itulah letak kesalahanmu Putri,” sahut pak Tegar. “Setiap serangga, kupu-kupu maupun burung yang ingin mendekat kepadamu untuk menjalin persahabatan denganmu selalu kecewa,” pak Tegar melanjutkan kritikannya.
“Kecewa?! Karena apa, Pak?” jawab Putri Malu.
“Karena setiap mereka mendekat padamu, kamu selalu menutup diri, mengatupkan daun maupun bungamu, seolah menolak tawaran persahabatan mereka. Sebaliknya, apa yang kau berikan hanyalah duri-duri tajam yang selalu menyelimuti dirimu.”
“Iya. Itu betul. Memang aku sering mengatupkan bunga dan daunku, tetapi itu semua aku lakukan karena aku takut dan malu menghadapi pergaulan bersama mereka,” jawab Putri Malu.
“Malu dan takut itu hal yang baik, bahkan merupakan satu yang utama dalam kehidupan, teristimewa dalam hal berbuat kejahatan. Tetapi kalau malu dan takutmu itu hanya untuk membungkus kelemahanmu, maka sebenarnya yang muncul adalah kesombongan yang merupakan penghalang utama dalam sebuah persahabatan.” Pak Tegar berhenti sejenak, mengambil nafas panjang dan akhirnya melanjutkan ucapannya, “Kesombongan itulah yang telah membentengi dirimu dengan duri sehingga makhluk lain tidak dapat mendekatmu. Tindakan menutup diri itu hanya akan merugikan makhluk lain dan juga merugikan dirimu sendiri.”
“Benarkah menutup diri itu akan merugikan dan bahkan membahayakan hidupku?” Putri Malu bertanya dengan suara lembut.
“Benar,” kata pak Tegar. “Kalau dirimu terus menerus bersikap demikian, kau akan terus menerus diselimuti rasa curiga. Persahabatan teman-temanmu kau curigai sebagai sesuatu yang jelek. Rasa amanmu akan selalu bergeser, sehingga kau akan selalu diombang-ambingkan oleh perasaan. Dalam menyikapi sebuah peristiwa yang muncul, kau hanya berdasar pada keuntungan diri, dan berpusat pada apa yang akan kudapat, apa yang kubutuhkan. Dunia yang kau pandangpun hanya sejauh menguntungkan dirimu saja, sehingga kau tidak pernah punya kekuatan dalam pergaulan yang banyak menawarkan hubungan yang saling menerima dan memberi. Putri Mal
u hanya mengangguk-angguk seolah mengerti, arti sebuah kehidupan. Semoga.
Singkawang, awal Februari 2016.