HIDUP HANYA SEKALI - BERARTI - SETELAH ITU MATI
Angin semilir lembut di pagi hari yang masih dingin, padahal jarum jam sudah menunjuk angka sembilan pagi. Pak Tegar masih asyik dengan kegiatannya, yaitu menebangi pohon-pohon pisang yang semakin banyak, yang mengganggu aliran air menuju sawahnya. Ada enam - tujuh batang pisang yang ditebangnya. Setelah itu diharapkan aliran air yang menuju sawahnya menjadi lancar dan tanaman-tanamannya tidak akan kekeringan lagi.
Pak Tegar beristirahat sebentar, karena mendengar teriakkan isterinya, “Kang, istirahat dulu. Ini saya bawakan sarapan.” Dia melangkah mendekati isterinya di ujung pematang sana dan setelah dekat, mereka saling menuju gubug yang dibangun di kebun mereka sekadar untuk berteduh dan melepaskan lelah sejenak. Setelah suaminya duduk di lantai gubug tersebut, isterinya membuka bungkusan yang diambilnya dari bakul yang dibawa dan diulurkannya kepada suaminya. Pak Tegar mencium aromanya, sesuatu yang yang berbentuk bulat panjang, dibungkus daun pisang. Pak Tegar membukanya dan ternyata sebuah gethuk pisang kepok (pisang nipah) kesukaannya.
Pak Tegar beristirahat sebentar, karena mendengar teriakkan isterinya, “Kang, istirahat dulu. Ini saya bawakan sarapan.” Dia melangkah mendekati isterinya di ujung pematang sana dan setelah dekat, mereka saling menuju gubug yang dibangun di kebun mereka sekadar untuk berteduh dan melepaskan lelah sejenak. Setelah suaminya duduk di lantai gubug tersebut, isterinya membuka bungkusan yang diambilnya dari bakul yang dibawa dan diulurkannya kepada suaminya. Pak Tegar mencium aromanya, sesuatu yang yang berbentuk bulat panjang, dibungkus daun pisang. Pak Tegar membukanya dan ternyata sebuah gethuk pisang kepok (pisang nipah) kesukaannya.
Isterinya meraih ceret yang dibawanya lalu menuang ke dalam gelas dan meletakkan di hadapan suaminya. Segelas kopi yang masih mengepulkan asap, mengeluarkan aroma yang sedap. Pak Tegar mengambil gelas kopi dan meneguknya. Terdengar bunyi sruputannya. “Woah, nikmat sekali,” kata Pak Tegar sambil menyeruput lagi kopinya.” “Gethuk pisang, kopi hangat, didampingi isteri yang cantik dan setia, alangkah bahagianya aku ini,” Pak Tegar melanjutkan.
“ Ah,booapak …… kita ini wis tuwek, Isiiiin (malu.red) kedengaran wong (orang.red),” sahut Mak Tegar basa-basi, walaupun didalam hatinya berbunga-bunga. Walau sudah punya empat orang anak yang sudah dewasa, suaminya masih selalu memujinya.
Keesokan harinya Pak Tegar kembali ke kebunnya untuk mulai mengerjakan yang lain. Dia melihat sepintas, dia heran melihat batang pohon pisang yang kemarin ditebangnya. Di tengah batangnya sudah mulai muncul tunas kembali. Tetapi dia tak peduli lalu terus mulai bekerja membersihkan kebunnya dari tetumbuhan pengganggu.
Dan tidak terasa hari semakin siang, keringat mulai bercucuran namun sebelum mandi di pancuran, Pak Tegar masih menyempatkan diri untuk menebas sekali lagi batang pisang yang kemarin ditebasnya dan mulai tumbuh lagi itu. Lalu dia meninggalkan kebunnya dan menuju ke pancuran sebagaimana biasanya untuk membersihkan diri dan selalu dia bertemu dengan teman sejawat tuanya, Pak Petrus Subhan, tetua desa mereka yang juga ingin membersihkan diri di pancuran umum tersebut.
“ Kang, aku nih heran. Kemarin saya tebangi pisang-pisang di pematang itu, tetapi sekarang sudah tumbuh lagi,” Pak Tegar menyampaikan kekesalannya.
“ Ndak usah heran, memang pohon pisang itu ya begitu. Sekarang kamu tebang, besok juga akan tumbuh lagi,” sahut Pak Petrus.
“ Mosok sih kang, ini pun baru saja saya tebas lagi,” sambung Pak Tegar.
“ Iyaaaa…, itulah falsafah pohon pisang, dia tak mau mati sebelum berarti. Dia ulet dan pantang menyerah.”
“ Maksudnya gimana?” tanya Pak Tegar ingin tahu.
“ Gini lho, pohon pisang itu memiliki banyak falsafah yang patut kita teladani.
Pertama: coba lihat batangnya, terdiri dari lapisan-lapisan yang disebut gedebok, dan gedebok ini terdiri dari serat serat kecil yang lemah, namun karena persatuan mereka menjadi batang yang kokoh dan tidak gampang roboh walau dilanda angin kencang
Pertama: coba lihat batangnya, terdiri dari lapisan-lapisan yang disebut gedebok, dan gedebok ini terdiri dari serat serat kecil yang lemah, namun karena persatuan mereka menjadi batang yang kokoh dan tidak gampang roboh walau dilanda angin kencang
Kedua: bagian-bagian dari pohon pisang itu semuanya bermanfaat.
Dari gedeboknya yang untuk membungkus tembakau, lalu daunnya untuk membungkus makanan, kemudian buahnya yang tersusun rapi di tandannya, terasa manis bisa dijadikan berbagai jenis penganan,” Pak Petrus terus menjelaskan.
“Iya, Kang. Tadi pagi isteri saya juga mengantarkan gethuk pisang kapok yang dibungus dengan daun pisang, kesukaanku,” sela Pak Tegar.” “Lalu apalagi, Kang?” sambungnya.
“Lalu jantung pisang kan juga bisa dibuat sayur, dan kalau sudah berbuah dan mati sekalipun bonggol batangnya, kalau dilubangi bisa mengeluarkan air yang bisa dipakai untuk menyuburkan dan menghitamkan rambut kita. Cobalah.
Ketiga: sebelum menghasilkan buah, kalau Pak Tegar memotongnya, besok pasti tumbuh lagi. Pantang bagi pohon pisang untuk mati sebelum menghasilkan buah.
Keempat: Pohon pisang itu adalah tipe pemimpin yang baik. Dia akan membuat kader penerus sebelum dia lengser atau mati. Itulah, pisang pasti sudah mempersiapkan anak-anaknya sebelum dia berbuah dan mati. Itulah beberapa falsafah dari pohon pisang yang patut kita teladani.”
“ Oh, gitu ya, Kang, jadi rupanya pohon pisang itu bisa menjadi guru kita,” sambung Pak Tegar.
“Iya…. Itulah. Kita bisa belajar banyak dari pohon pisang. Dia bermanfaat secara total selama kehidupannya. Dia tipe maklhluk yang tidak egois dan selalu membuat dirinya selalu bermanfaat bagi orang lain. Selesai mandi mereka pulang beriringan, sampai berpisah di tikungan jalan menuju rumah masing-masing.
Singkawang, awal November 2016
0 komentar:
Posting Komentar