KANGEN
Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta.
Kau tak akan mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi.
Itulah berarti.
Aku tungku tanpa api.
WS. Rendra
Puisi Rendra: Kangen, melintas begitu rupa usai berita kepindahan itu aku terima. Meski kepindahannya itu belum terjadi, namun aku sudah bisa membayangkan bagaimana perasaan kangen atau rindu akan membayangi benak umat paroki ini.
Sebenarnya berita kepindahan itu telah sampai di tanganku sejak 3 Juli 2020. Seorang rekan kerja sesama tim komunikasi sosial paroki yang begitu rapat dengan kehidupan pastoral mengabarkan kepindahannya per 1 Agustus 2020 melalui aplikasi pesan singkat, Whatsapp. Mungkin begitulah rasanya istilah bagai disambar petir di siang bolong terjadi. Ya, siang itu, kira-kira 12 menit menjelang jam istirahat makan siang, kuterima berita kepindahan beliau yang hampir sewindu menjadi gembala kami, umat Paroki Singkawang.
Sedih, pasti. Terperanjat, sangat! Merasa kehilangan, rasanya tak terkatakan. Bagaimana tidak, sosok gembala yang luar biasa sederhana, hampir tak bercacat cela seolah begitu saja dirampas dari batin umat yang selama ini sudah demikian rapat, lekat, dan hangat dengan pribadinya.
Sejak awal beliau datang, hampir delapan tahun silam, kala itu paroki berumur lebih dari seabad ini seolah sejuk disirami dengan candaan ringan yang rasanya, 'receh' istilah anak gaul milenial.
"Perkenalkan, nama saya, Gathot, singkatan dari ganteng total!"
Bayangkan, dengan nada polos dan jenaka kalimat tersebut meluncur begitu saja dari bibir seorang gembala dan tentunya segera disambut gelak tawa umat seantero gereja. Dengan kalimat sesederhana namun jenaka itu ia seolah menjelma menjadi kelebat kilatan blitz, dengan cara begitu instan beliau mampu mencuri hati umat yang tentu sebelumnya diliputi gundah gulana karena ditinggalkan pastor paroki sebelumnya, Amandus Ambot, OFMCap, yang mendapat tugas baru sebagai propinsial.
Berikutnya dapat ditebak, seiring berjalannya waktu, sinergi mampu diciptakannya di Fransiskus Assisi. Ia begitu lembut, memberi dan menanggapi. Ia begitu sederhana, terampil namun tetap bersahaja. Persis seperti kesan seorang ketua lingkungan pada saat menyampaikan pidato perpisahan, "Selama beliau memimpin paroki ini, tak pernah sekalipun kami mendapati beliau marah atau bicara dengan nada tinggi." Rasanya untuk seorang manusia itu adalah hal yang luar biasa. Memang yang tampak pada kami adalah sosoknya yang tenang, tidak pernah terpancing emosi. Namun siapa yang mampu menyangka gejolak dalam hati. Ada kalimat bijak mengungkap, tidak semua orang tahu bahwa ruangan yang hening kadang menyimpan rasa paling bergemuruh. Ya, tidak semua orang tahu dan mau memahami. Hanya dia dan penciptanya saja yang tahu gejolak batinnya. Namun ekspektasi orang tentang gembala yang menjadi pengayomnya dibingkai utuh dalam sosok sederhana, tenang, bijaksana, tak bercacat cela sanggup dipersembahkannya. Hampir delapan tahun beliau memang mampu mewujudnyatakan itu pada umat yang digembalakannya.
Selama hampir sewindu itu juga beliau hanya mengambil hitungan jari pada kedua telapak tangan untuk merasakan istirahat cuti melayani tugas kegembalaan. Pun dalam istirahat cutinya itu beliau tetap tak lepas memonitor geliat paroki tempatnya menggembala. Dering ponselnya seolah tak pernah ikhlas melepasnya beristirahat. Ada saja sapaan, aduan, keluhan, atau sekadar pernyataan yang mau tidak mau, suka tidak suka harus tetap selalu dilayaninya. Jika merujuk pada iklan brand salah satu minuman berkarbonasi, maka tak lebih tak kurang pada beliau dapat disematkan jargon, "Kapan saja, di mana saja!" Begitulah dia, mau dan mampu melayani umat kapan saja dan di mana saja.
Hei rupanya tidak hanya umatnya saja yang dilayaninya sekuat pikir dan tenaga. Saudara-saudara seper-imam-annya pun tak luput dari pantauannya selama tinggal di Fransiskus Assisi. Betapa diam-diam beliau selalu memastikan keadaan kesehatan senior-senior yang seatap dengannya (Pastor Marius, Pastor Yeri {almarhum}, Romo Agus, dan Pastor Pasifikus). Pernah suatu masa, kala itu beliau sedang bersama kami sebagian kecil panitia tahun acara ulang tahun 111 tahun paroki melepas penat seusai giat. Kami memutuskan untuk sekadar bersantap di luar sekaligus menyegarkan pikiran. Usai bersantap salah seorang dari kami menawarkan untuk melanjutkan menikmati malam dengan menyesap kopi di kedai kopi. Jawaban beliau tak terduga. Beliau menolak halus ajakan kami dengan ujaran, "Saya harus pulang, asuhan saya ada empat di rumah, khawatir beliau-beliau butuh sesuatu atau butuh saya." Seketika kami semua memutuskan balik kanan, bubar jalan. Masing-masing akhirnya memilih pulang tak jadi melanjutkan menikmati malam. Oh ya, ada sedikit bocoran ketika Sang Meneer Belanda yang keras kepala (alm Pastor Yeremias Mellis, OFMCap) meninggal dunia. Saat itu mantan pastor paroki ini baru saja kembali ke pastoran. Mendengar kabar Pastor Yeri berpulang, beliau berlari sekencang-kencangnya sambil berurai air mata menuju rumah sakit yang bersebelahan dengan pastoran dan gereja. Beliau total merasakan duka kehilangan.
Baik, mari tepiskan kenangan yang menyesakkan tentang kisah duka kehilangan pastor dari tanah Nederland, kita kembali pada geliat kegembalaan beliau di Paroki Singkawang. Hampir sewindu beliau mencurahkan segala tenaga dan pikiran demi harmonisasi umat Fransiskus Assisi. Banyak perubahan dihasilkan, banyak kemajuan dirasakan, banyak mata dan perhatian dari pihak luar menyorot ke Paroki Singkawang.
Atmosfer hangat begitu nyata dirasakan ketika siapapun menyambangi gereja yang berposisi di jalur urat nadi kota paling tinggi toleransi ini. Dalam senyap beliau bekerja, mengumpulkan yang terserak, menyambung yang terputus, menyatukan yang tercerai, memperbaiki yang luka hati. Coba tanya pada umat Paroki Singkawang, acak, siapa saja, bagaimana sosok beliau di mata mereka. Siap-siap jawaban serupa akan Anda terima, dan garansi jawabannya adalah: beliau itu sederhana dan kehadirannya sungguh mendatangkan suka cita!
Sepengakuan beliau ketika dulu mendapat tugas kegembalaan di Paroki Singkawang, dan ketika menjejakkan kaki pertama kali dengan status pastor paroki, di pundaknya seolah disampirkan beban yang tak terukur beratnya. Belum lagi adaptasi lingkungan baru, mengenal wajah-wajah baru, karakter-karakter baru, pola pendekatan yang juga baru, menyesuaikan apa, siapa, bagaimana, dan kemana arah lawan bicara. Memang, suatu pekerjaan rumah yang tidak mudah. Namun sekali lagi berbekal teladan Fransiskus Assisi yang diikuti, ditambah sifat hangat dan jiwa bersahaja, tembok tinggi benteng umat paroki berhasil ia lompati. Sinergi, ya akhirnya hanya sinergi yang tercermin dari paroki ini. Betapa dengan kekuatan sinergi segala hal mampu diatasi, segala gawe akbar dikemas menjadi gebyar, segala keberhasilan mampu diwujudnyatakan.
Pilu membayangkan sosoknya duduk di muka pintu gereja yang digembalainya hampir sewindu dengan jutaan kenangan yang mengembara dalam benaknya. Seperti yang ia sampaikan ketika hampir meninggalkan Paroki Singkawang, di suatu sore duduk tepat di depan gereja, melayangkan ingatan pada kenangan-kenangan yang mungkin saja sanggup ia tepiskan namun tidak akan terlupakan. Menapak tilas seorang putra kelahiran Muntilan yang mampu menaklukkan hati umat Paroki Singkawang dalam karya kegembalaan. Dialah Pastor Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap atau yang akrab disapa Romo Gathot. Seorang romo yang berita kepindahannya menjadi hari patah hati umat paroki.
Romo, kini kami telah mendapat gembala pengganti. Yang dari suaranya selalu tampak riang hati, yang dari tutur katanya sungguh mencerminkan kecerdasaannya, yang dari penampilannya pun tak kalah bersahaja. Seperti penggalan puisi Rendra di atas,
"Kau tak akan mengerti segala lukaku
karena cinta telah sembunyikan pisaunya."
Ya, cinta kasih gembala baru yang kiranya akan sanggup meredam luka kehilangan gembala sepertimu.
Pinta kami, umat paroki, bawa kami selalu dalam doa, Romo. Terima kasih untuk segala keringat dan buah pemikiran yang sudah Romo curahkan bagi Paroki Singkawang. Selamat berkarya di tempat baru, semoga selalu mampu menjelma sebagai pelita agar sekitarmu semakin merasakan benderang cahaya-Nya. (Hest)