Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

15 Jan 2016

SETAHUN BERSAMA, LIKES SEBAGAI MEDIA DAN JURNAL PEMULA

SETAHUN BERSAMA, LIKES SEBAGAI MEDIA DAN JURNAL PEMULA




“………………………………..
Pena dan penyair keduanya mati, berpalingan.”

(Chairil Anwar dalam Nocturno (fragment))


Desember 2014 Edisi Perdana, Awal Tahap Belajar Bersama

Penggalan puisi di atas jika ditinjau dari kacamata sastra menunjukkan adanya keterkaitan besar pada kedua objeknya, pena dan penyair. Sekadar meminjam istilah saja, ketika hal serupa dihubungkan dengan penulis dan media. Seseorang belum dianggap penulis jika tulisannya belum dibaca orang lain. Persoalan tulisan yang dihasilkan berbobot atau tidak, maka kembali pada kemampuan penulisnya sendiri dalam mengemas pemikiran atau hal yang diberitakan dan merangkainya dengan estetika bahasa menjadi satu kesatuan yang layak baca. Hal serupa berlaku pula pada media yang memuat karya penulis. Suatu media akan diperhitungkan jika mampu memberikan kontribusi yang dibutuhkan guna memuaskan dahaga informasi pembacanya. Masih ada kaitan dengan penulis dan karyanya, media dan isinya, pada Desember 2014 lalu, menjadi satu langkah nyata dari sekelompok orang yang disatukan dalam ide pengejawantahan media informasi seputar paroki. Hanya dalam hitungan pekan, bermodal tekad dan kemauan, edisi perdana LIKES diluncurkan. Kala itu awak redaksi digawangi sebelas sukarelawan. Masing-masing dipercaya untuk menangani bidangnya. LIKES sendiri bagi redaksi tak lain sebagai wadah belajar dan media penyalur hobi menulis. Perkara edisi perdana muncul pada Desember 2014, LIKES lebih menekankan pada berbagai kegiatan gereja di masa Natal. 

Maju Bersama dalam Dinamika

Bukan perkara mudah menyatukan pemikiran dari beberapa kepala, bukan hal gampang mencocokkan waktu bertemu dengan beberapa individu, bukan masalah ringan membagi jadwal liputan dan kapling tulisan mengingat masing-masing personil memiliki beragam kesibukan. Mendewasa dalam dinamika, menyeimbang dalam sikap saling pengertian, menjadi eksis dalam kesadaran tentang konsistensi kebersamaan, hal tersebut menjadi landasan kuat untuk selalu mewujudkan setiap edisi buletin paroki. Berbagai  rintangan kecil menjadi aral penerbitan LIKES. Gejolak paling menjadi riak dalam proses penerbitan LIKES timbul manakala bongkar pasang personil yang menangani  pe-layout-an harus dilakukan. Dalam kurun waktu satu tahun, pada tujuh edisi yang telah diterbitkan, tercatat sudah empat layouters menanganinya. Hal tersulit dihadapi kala harus kehilangan selama-lamanya personil  layouters  untuk edisi kedua yang  berasal dari kalangan profesional. Kekalutan sempat benar-benar  melanda segenap awak redaksi LIKES, namun berkat Tuhan kiranya selalu melingkupi niat baik yang lantas dijawab-Nya dengan hadirnya layouters yang baru.           

Berat Sama Dipikul, Ringan Berdampak ‘Ampul’

LIKES, media sederhana wadah belajar bagi para penulis pemula, kini di usianya yang baru satu tahun  digawangi oleh 12 orang awaknya. Ada banyak keterbatasan yang dimiliki sebelas orang pencetus awalnya hingga dengan berbagai pertimbangan, redaksi mengajak rekan-rekan lain yang memiliki hobi dan potensi serupa penunjang kokohnya sebuah media untuk bergabung di dalamnya. Bongkar pasang personil menjadi hal tak asing bagi media yang tak dimungkiri masih penuh kekurangan di sana-sini.  Dengan digarap 12 orang kru, rasanya pekerjaan redaksi dalam mewujudkan eksistensi  informasi paroki semakin teratasi. Ya, beban berat yang sama dipikul tentunya akan berdampak ‘ampul’ (kecil dan ringan).     

Menyuguhkan Berita, Membaca  Pembaca

Selama setahun, berbagai hal berkaitan aktivitas lingkup Paroki Singkawang diberitakan. Tercatat enam edisi sebelum edisi terakhir yang kini berada di tangan pembaca ini diluncurkan. Dalam dinamikanya, sekali dalam sebulan awak redaksi dikumpulkan guna membahas isi buletin ke depan. Berbagai informasi yang diperoleh dari pastor paroki menjadi modal dasar lingkup pemberitaan kami. Tidak hanya itu, informasi kegiatan dari pembaca di seputar paroki pun menjadi ‘undangan’ khusus bagi  kru redaksi untuk mewujudkan suatu informasi.   

Tak Ada Gading yang Tak Retak, Tak Ada Donatur LIKES Tak Naik Cetak

Sebagai media berumur batita (bawah tiga tahun), LIKES tidak pernah lepas dari kekeliruan maupun kesalahan. Salah cetak, luput dari proses pengeditan, kekinian berita yang kadang  dipertanyakan,  hingga konsistensi waktu penerbitan sebuah media yang sifatnya berkala. Meski tercatat pernah satu kali mengalami keterlambatan penerbitan namun dengan segenap hati, tenaga dan pikiran, redaksi selalu berusaha menjumpai pembaca setia tepat pada waktunya. Tak dapat dimungkiri pada edisi perdana LIKES, kekurangan masih terserak di sana-sini, baik dari segi isi maupun tampilan, melalui tahapan mendengarkan masukan, saran dan kritikan dibarengi perbaikan, maka perubahan perlahan-lahan lantas dilakukan. Edisi perdana juga terbit berkat kegigihan dari seksi usaha dana yang harus ‘bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Mencari pemasang iklan dahulu, barulah terbit kemudian.’ Dalam setahun perjalanan, lagi-lagi seksi usaha danalah yang menggeliat dalam sepak terjang. Ranum dan manis hasil yang didapatkan. Hingga tujuh edisi berjalan segala yang berkaitan dengan pendanaan disokong sepenuh-penuhnya oleh para donatur yang berperan. Di usianya yang pertama LIKES telah mengukuhkan diri sebagai salah satu bagian dari paroki.       

Di Kemudian Hari Ada Regenerasi

Menuntaskan dahaga informasi pembaca yang tak kenal batas ruang dan waktu sungguh menjadi kenikmatan tersendiri bagi redaksi. Terdapat kepuasan mana kala LIKES ditunggu dan dipertanyakan tentang waktu penerbitan oleh pelanggan, itu artinya kehadiran kami sungguh dinantikan. Namun tetap ada yang mengganjal mengingat keberlangsungan media yang terbit dua bulanan ini digawangi oleh generasi yang secara usia dapat dikatakan matang. Memang usia tidak bisa menjadi alasan untuk produktivitas seseorang, namun sungguh, mimpi kami dari pihak redaksi di kemudian hari  ada regenerasi, agar media informasi paroki berbanderol LIKES ini tetap kokoh berdiri. 

Pembaca Tak Hanya Membaca  

LIKES adalah media dan jurnal pemula. Sejak awal berdiri, redaksi tak putus-putus mengundang pembaca untuk ikut berkarya di dalamnya. LIKES bukan hanya milik redaksi. Seluruh pembaca memiliki hak berkarya di dalamnya. LIKES merupakan wadah penampung kreativitas, tempat belajar, dan media penyampai informasi. Didasari tujuan awal terbentuknya, maka redaksi mengajak pembaca untuk tidak hanya membaca, namun terlibat secara aktif dalam mewujudkan eksistensi media informasi tercinta kita ini. (Hes)   



MALAIKAT TANPA SAYAP ITU BERNAMA PINGKAN

MALAIKAT TANPA SAYAP ITU BERNAMA PINGKAN 




“Namun tak kaulihat… terkadang malaikat, tak bersayap, tak cemerlang, tak rupawan...”

Kiranya kutipan lagu berjudul Malaikat Juga Tahu yang dinyanyikan oleh Dewi Lestari begitu sesuai untuk menggambarkan sosoknya yang mungil namun sangat cekatan kala bersama ibu dan saudara perempuannya mengemasi tumpukan Madah Bhakti yang berhamburan usai dipergunakan pada saat misa. Skolastika Pingkan, atau Pingkan, begitu ia biasa disapa, ia adalah putri dari Ibu Armey Pande dan Bapak Yohanes Rusyanto. Pelajar kelas VII SMP Bruder ini cukup menyita perhatian. Jika anak seusianya pada umumnya segera beranjak pulang seusai menghadiri perayaan Ekaristi, atau memilih tinggal di gereja untuk sekedar ber-selfie, maka gadis yang mulai menginjak masa remaja ini meluangkan waktu yang ia miliki untuk mengemaskan tumpukan Madah Bhakti yang lebih sering dikembalikan sekenanya atau ditinggalkan begitu saja oleh pemakainya di bangku-bangku gereja. Belum lagi sampah bungkus permen atau makanan, hingga tissue yang tak luput terserak ditinggal para konsumennya,  pun demikian pada wadah kolekte yang kadang tergeletak begitu saja dibiarkan usai digunakan. 

Setiap Minggu usai misa ke dua, cermatilah orang-orang yang berada di gereja, maka indra penglihatan kita akan segera mendapati sosok gadis mungil ini ditemani ibu dan kakak perempuannya (Fransiska Aneke) tengah sibuk berbenah tumpukan Madah Bhakti. Kegiatan yang rutin dilakukannya ini kira-kira sudah berjalan dua tahun. Selama sekitar setengah jam setiap hari Minggu usai misa ke dua, Pingkan meluangkan waktunya untuk ‘melayani’ gereja. Ketika ditanya apa yang melatari tindakannya, dengan polos ia berujar, “Karena melayani Tuhan bisa dari tindakan kecil seperti ini.” Ya, tindakan kecil namun nyata, begitu berharga dan  dampaknya bisa dirasakan langsung oleh sesama. 

Pernahkah kita membayangkan betapa repotnya koster jika masih harus disibukkan dengan rutinitas tambahan mengemasi Madah Bhakti usai digunakan, memunguti sampah yang sengaja ditinggalkan di rumah Tuhan, hingga membereskan berbagai peralatan sederhana pendukung aktivitas gereja. Pernahkah kita membayangkan bagaimana keadaan gereja jika ketakpedulian kita atas berbagai ketidakberesan masih terus menerus kita lakukan jika tidak ada sosok ‘malaikat tanpa sayap’ seperti Pingkan? 

Untung ada Pingkan, ya, untung ada Pingkan, namun bukan berarti kita bisa semakin tidak peduli ketika merasa ada sosok lain yang dengan ikhlas membereskan ketidakteraturan yang kita timbulkan. Ada benarnya apa yang dikatakan Pingkan dengan lebih menyadari bahwa tindakan kecil namun berarti melayani Tuhan, setidaknya dengan timbul kesadaran untuk merapikan ketidakberesan, kita bisa meringankan rutinitas Pingkan. (Hes)            



ISTIMEWANYA MENJADI ANAK PPA

ISTIMEWANYA MENJADI ANAK PPA



Suasana sore yang begitu bersahabat menyertai perjumpaan saya dengan salah satu anggota dari Putra-Putri Altar (PPA), atau yang sering disebut misdinar yang dalam istilah gerejaninya disebut Alkolit (latin). Nama PPA ini sudah tidak asing lagi di telinga Umat kristiani. 

PPA atau misdinar dikenal sebagai para remaja yang berjiwa sosial yang dapat dijumpai pada saat perayaan misa dengan pakaian yang khas  dan menjadi penuntun jalan bagi imam yang memimpin perayaan liturgi. Dengan semangat yang membara dalam perbincanganya ketua PPA Santo Fransiskus Assisi Singkawang, dengan pemilik akun BlackBerry Messanger (BBM) yang bernama Nikolas Gratia atau lebih akrab disapa Gagas, berbagi cerita selama menjadi Putra-Putri Altar. Menurut Gagas sendiri Putra-Putri Altar atau misdinar itu sudah menjadi bagian dalam dirinya karena sejak duduk di bangku kelas 4 SD. Ia sudah bergelut dengan misdinar karena menurut Gagas untuk menjadi anggota PPA itu merupakan panggilan dari Tuhan. Salain itu menjadi misdinar suatu kebangaan tersendiri dengan mengunakan baju warna-warni sesuai dengan fungsinya tidak semua anak dapat melayani Tuhan seperti yang dilakukan oleh PPA.

Selain membantu para Imam dalam melayani misa, anggota PPA yang notabene merupakan anak usia remaja SD dan SMP pada umumnya juga  mempunyai banyak potensi seperti di bidang tarik suara dan memainkan alat musik. Hal itulah yang menjadi salah satu nilai plus bagi anak-anak PPA karena selain melayani Tuhan mereka juga dapat mengembangkan bakat mereka. Dalam perbincangan, Gagas lebih menekankan untuk adik-adik PPA dapat menjaga sikap pada saat ibadat atau kebaktian liturgi khususnya perayaan ekaristi,  serta mewajibkan mereka tahu fungsi dan peran dalam bertugas dan memahami apostolik dari PPA itu sendiri.



Oleh sebab itu keinginan yang sangat besar untuk dapat menggerakkan pemuda,  remaja khususnya untuk melayani gereja dalam ibadat atau kegiatan liturgi karena gereja sangat membutuhkan generasi penerus remaja PPA yang sebentar lagi akan bermetamorfosis menjadi anak-anak dewasa agar gereja tidak menjadi kering. 

Adapun kegiatan rutin yang sering dilakukan anak PPA seperti rapat dan latihan setiap usai perayaan misa kedua dengan tujuan penentuan tugas pada perayaan liturgi yang akan datang contohnya untuk saat ini seperti latihan tablo untuk pemberkatan Gerbang Kerahiman Ilahi di depan pintu utama gereja. Harapan ke depannya PPA dapat berkembang dan lebih maju serta dapat dikenal lebih luas lagi dan tidak dipandang remeh meskipun kebanyakan angotanya anak-anak remaja. PPA Santo Fransiskus Asisi juga mempunyai akun instragram tersendiri yang dapat diakses di PPASTTARSISIUSSKW. (Adrian)





Penantian Embun Natal

Penantian Embun Natal

Image by google


Karya Pena : Santo Satriawan

Jauh...
Sendiri...
Hanya tangan dan mata
Saling berkontak fisik dan batin
Aku jauh dan sendiri
Ingin ku berjumpa dan bersua
Ayah.. Ibu..
Aku di hening detik penantian

Ingin segera ku hempaskan kaki dari pijakan saat ini
Namun anakmu sedang berjuang melawan dunia
Melawan kemiskinan dan kebodohan
Walau tangan tak bisa saling berjabat
Walau mata tak bisa saling menatap
Tapi aku yakin, kita satu di dalam doa yang sama
 Di dalam penantian embun Natal.






Meninggal = Kembali ke Rumah Bapa

Meninggal = Kembali ke Rumah Bapa



Seorang nenek yang telah berusia senja berulang kali mematut-matut dirinya dengan baju kebayanya yang baru di depan cermin. Setelah merasa puas, sambil tersenyum sang nenek  menyimpan kembali kebayanya  dengan rapi dalam almarinya. Tetapi anehnya kebaya itu belum pernah dipakainya. Adegan ini dilihat oleh cucunya. Karena merasa penasaran sang cucu bertanya kepada neneknya, “Nek, saya belum pernah lihat nenek memakai baju kebaya itu. Memang kebaya itu mau nenek pakai untuk acara apa?

“Cu, kebaya itu mau Nenek pakai pada saat menghadap Tuhan nanti supaya Nenek kelihatan rapi dan pantas bertemu dengan Tuhan”, jawab nenek sambil mengelus kepala cucunya.

Membaca jawaban nenek di atas boleh jadi kita berpikir itu aneh dan lucu. Bahkan terkesan mengada-ada. Namun bila direnungkan lebih dalam, nenek itu mempunyai keyakinan bahwa melalui kematian dia akan berjumpa dengan Tuhan sendiri. Kematian menjadi awal dari sebuah perjumpaan. Bagi sang nenek kematian bukanlah  akhir dari segala-galanya.  Sang nenek tidak hanya tinggal pada peristiwa kematian itu saja. Tetapi keyakinannya mampu menembus hal-hal lahiriah semata.

Bagi kebanyakan orang peristiwa kematian memang dianggap sebagai momok yang menakutkan. Tabu bicara soal mati. Secara tidak sadar manusia sejatinya tidak ingin mati. Maunya bisa hidup selama-lamanya di dunia ini. Namun kenyataan itu tidaklah demikian. Setiap orang pasti dan harus mati. Kematian merupakan suatu kepastian yang tidak bisa ditolak dan dihindari. Lalu bagaimana kita menyikapinya?

Sebagai orang beriman tentu kita perlu mendasarkan keyakinan kita kepada apa yang pernah disabdakan oleh  Yesus Kristus, Guru dan Tuhan kita. Dalam Kitab Suci tertemukan banyak sabda-Nya yang memberi penghiburan dan pengharapan. Patut direnungkan baik-baik bahwa janji yang diucapkan oleh Yesus bukanlah omong kosong. Bahkan hal yang memberikan jaminan adalah kenyataan bahwa Yesus sendiri juga pernah mengalami kematian; tinggal selama  tiga hari dalam kegelapan makam; tetapi kemudian bangkit mulia. Peristiwa kematian dan kebangkitan Yesus inilah yang menjadi dasar bagi kita untuk berharap akan mengalami kehidupan baru seperti yg Dia alami sendiri. Lalu apa yang disabdakan oleh Tuhan Yesus tentang peristiwa kematian?

Dalam Perjamuan Malam Terakhir bersama para murid-Nya, Yesus pernah bersabda, “Di rumah Bapa-Ku, banyak tempat tinggal. Jika tidak demikian, tentu Aku mengatakannya kepadamu. Sebab Aku pergi ke situ untuk menyediakan tempat bagimu” (Yoh 14:2). Sabda ini disampaikan oleh Yesus sebagai  semacam “sabda perpisahan” sebelum Tuhan  sendiri mengalami peristiwa penyaliban. Dari sabda ini terkandung  makna bahwa kematian berarti pulang ke rumah Bapa. Dan Tuhan sendiri yang menyediakan rumah itu. Dalam pengalaman sehari-hari tempat kediaman punya arti yang sangat penting sebagai tempat beristirahat dan setiap orang merindukan untuk bisa mencapai peristirahatannya yang abadi. Dan kerinduan itu mendapat jawabannya lewat janji yang disampaikan oleh Tuhan Yesus.

Ketika berbicara tentang diri-Nya sebagai Roti Hidup, Yesus juga memberikan sabda penghiburan. “Semua yang diberikan Bapa kepada-Ku akan datang kepada-Ku, dan barangsiapa datang kepada-Ku, ia tidak akan Kubuang” (Yoh 6:37). Sekiranya kita menyakini bahwa kematian itu berarti pulang ke rumah Bapa, maka hendaknya kita tidak perlu takut karena itu berarti kita datang kepada Yesus sendiri. Apalagi Yesus memberikan jaminan bahwa setiap orang yang datang kepada-Nya tidak akan dibuang.

Ketika melayat ke rumah Maria dan Marta berhubung dengan kematian Lazarus, Yesus juga berbicara tentang kematian. Nadanya sungguh memberikan peneguhan dan penghiburan. “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh 11:25). Kehidupan yang dijanjikan oleh Yesus bukanlah kehidupan duniawi; dimana orang masih perlu makan, minum dan nanti akan mati lagi. Tetapi kehidupan yang Dia janjikan adalah kehidupan bersama Allah, yang sering kita sebut sebagai kehidupan kekal. Kehidupan seperti ini tidak akan mengalami kematian lagi.  Dasar dari kehidupan itu adalah Tuhan Yesus sendiri yang menyebut diri-Nya sebagai kebangkitan dan hidup. Melalui peristiwa Paskah Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Tuhan yang bangkit dan hidup. Kematian tidak lagi menguasai-Nya. Dan syarat untuk memperolehnya adalah dengan percaya kepada-Nya. Percaya yang dimaksud bukanlah percaya dalam tataran intelektual semata; tahu bahwa Yesus adalah Tuhan. Tetapi percaya dalam artian lebih pada hubungan batin: bahwa saya mengimani Yesus sebagai Tuhan sehingga saya berusaha menghidupi apa yang disabdakan-Nya kepada saya. Itulah syarat yang diminta agar kita boleh mendapatkan kehidupan abadi.

Seorang wartawan pernah bertanya kepada Bunda Theresa dari Calcuta, apa pendapatnya kalau kelak Tuhan memanggilnya. Dengan mantap Bunda Theresa menjawab bahwa dia senang sekali kalau tiba waktunya sudah tiba. Karena dengan itu dia akan bertemu dengan Tuhan yang selama ini diimaninya. Kita semua juga pasti akan menghadapi kematian. Bagaimana sikap kita? (Gathot)



SETAPAK TAK BERJARAK DENGANNYA, SANG MUTIARA PENEBAR CERIA

SETAPAK TAK BERJARAK DENGANNYA, SANG MUTIARA PENEBAR CERIA

“Mahkota apa yang saya cari selain satu tujuan, mencerdaskan generasi bangsa. Sudah terlalu tua bagi saya untuk mencari sensasi. #renungan”



Tersentak saya kala membaca status media sosial pada aplikasi pesan instan biarawan periang nan enerjik itu. Status itu pula yang semakin menyadarkan dan menguatkan paradigma saya bahwa sosoknya berbeda, ia begitu istimewa. 

Bruder Valensius Ngardi, S.Pd, MTB, atau lebih sering disapa Bruder Flavi. Pria kelahiran Manggarai, Flores, 4 Juli 1975 itu pertama kali saya jumpai pada 3 September 2014 lalu. Kala itu dalam suasana formal sebuah pertemuan yang digagas oleh dinas yang menaungi  tempat keseharian kami berkarya tengah getol-getolnya menyasar tiap sekolah guna menyosialisasikan kurikulum baru. Pada saat itu saya sempat mengamati dari kejauhan, beliau yang baru menduduki jabatan sebagai pucuk pimpinan salah satu Sekolah Menengah Pertama di Singkawang terkesan sedikit canggung ketika harus berbaur dengan pimpinan dari sekolah lain. Saya sempat menanyakan perihal wajahnya yang rasanya begitu asing bagi saya kepada salah satu pimpinan sekolah yang saya kenal. Jawaban yang lantas mampu menuntaskan keingintahuan saya terima, “Beliau Kepala Sekolah SMP Tarsisius yang baru.” Pada saat itu yang terlintas dalam pikiran saya, “Ow, ini rupanya sosok yang kemarin-kemarin sempat diceritakan rekan sesama pengajar di sekolah tempat saya mengabdi dulu.” Sadar jika diperhatikan, beliau lantas melempar senyum ke arah saya yang saya balas dengan anggukan.

Pertemuan kedua kami terjadi pada medio Desember 2014. Kali ini jabat tangan dan perkenalan diri dapat kami lakukan secara langsung dalam suasana yang lebih santai dan akrab. Saya ingat betul kalimat yang lantas dilontarkan beliau pada saat berjabat tangan, 

“Rasanya sering lihat, Mbak.,” 
“Ya, Der, kita pernah bertemu di sosialisasi Kurikulum 2013, saya salah satu instruktur yang ada di situ, mungkin Bruder juga pernah lihat foto saya di Tarsi, saya dulu mengajar di Tarsi (SMP Santo Tarsisius.red).”  

“Ow, ya, ya, kita sekarang satu tim.” 
Ya, saat ini kami satu tim dalam meramu buletin gereja. Pertemuan kali itu berlangsung begitu singkat. Tidak banyak yang dapat saya tangkap dalam kesan pada pertemuan kali itu selain nada bicaranya yang ringan dan terasa begitu bersahabat. 

Perkenalan selanjutnya hanya berjalan searah, prosesnya terjadi melalui kebiasaan saya yang sering berusaha mengenali pribadi orang lain dengan cara mengamati ekspresi wajah dan gaya melalui  foto-foto. Ada rasa takjub manakala saya disodori foto sesosok lelaki dengan dandanan dan kostum lengkap sebagai badut dengan latar belakang persawahan ditambah keterangan dari sang juru foto, “Mbak, tahu ini siapa? Ini Bruder Flavi, lho!” Mengernyit dahi saya kala itu, mencoba menelisik detil foto di hadapan saya sembari perlahan mengurai pola pikir yang rasanya bersimpul-simpul, menyeimbangkan antara kenyataan beliau adalah pucuk pimpinan di sekolah dan begitu berwibawa dengan kontradiktif sikapnya yang membumi menjadi penghibur, pembawa ceria bagi sesama yang dijumpainya dalam balutan kostum dan dandanan badut. Ya, kala itu beliau berdandan ala badut guna menghibur umat di salah satu stasi dalam rangka perayaan natal bersama.     

Kesan ketiga yang juga benar-benar lekat dalam ingatan saya adalah ketika suatu sore di bulan  Juni 2015, usai gerimis tipis mengguyur kota Singkawang, langkah kaki saya digiring ‘pulang’ ke tempat saya pernah mengabdikan diri. Saat itu saya sengaja ‘pulang’ ke sekolah tempat dimana sang badut yang sekaligus pucuk pimpinan mempersembahkan segenap waktu, tenaga, dan pikirannya dalam berkarya, SMP Santo Tarsisius. Sambutan hangat seolah menyambut kerabat dekat pun segera saya dapat. Banyak hal kami perbincangkan, beliau begitu antusias membahas rencana-rencana dalam membangun sekolah ke arah kemajuan. Yang membuat sangat terkesan adalah keterbukaannya menerima berbagai masukan yang saya berikan. Padahal seringkali dalam keseharian, saya merasa dianggap ‘anak bawang’, suara dan pendapat saya lebih sering dikesampingkan, namun di hadapan beliau pendapat saya diperhitungkan. Satu lagi kesan yang saya dapatkan, beliau adalah tipikal pemimpin yang menghargai dan mendengarkan. 

Usai kunjungan ‘pulang’ saya ke SMP Santo Tarsisius sore itu, komunikasi kami lebih banyak dilakukan via pesan instan maupun surat elektronik. Pernah dalam kurun suatu masa, anak keempat dari enam bersaudara ini bertubi-tubi mengirimkan artikel melalui surat elektronik untuk dimuat di Buletin Likes. Saya begitu takjub dengan kesanggupannya meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk menulis berita di sela-sela kesibukannya sebagai pimpinan yang saya yakini sudah terlampau sarat tugas dan kewajiban. 

Kiranya keberuntungan untuk lebih mengenal dekat sosoknya selalu menyertai saya. Pada suatu kesempatan, tepatnya pada perayaan 110 tahun Kapusin berkarya di Singkawang, kami digadang dalam sebuah tim yang menangani sektor pameran. Entah mengapa kala membaca namanya sebagai koordinator seksi pameran, tidak ada kepanikan yang saya rasakan meski mengetahui pameran ini akan dikunjungi minimal dengan skala regional Kalimantan Barat. Dan benar saja, dalam beberapa kesempatan rapat persiapan juga saat eksekusi ide yang sudah dirancang, sosoknya yang periang kembali menimbulkan kejutan-kejutan. Pada umumnya, orang yang sifatnya periang dan enerjik yang selalu saya jumpai bukanlah tipikal orang yang detil dalam menghadapi apapun, namun ternyata pengecualian berlaku pada putera Bapak Ignasius Gentor dan Ibu Elisabet Ahul ini. Beberapa kali saya terperangah ketika  beliau begitu rinci meneliti satu persatu kesiapan kegiatan. Tidak berhenti sampai di situ, lagi-lagi sikapnya yang membumi seolah melucuti rasa malu saya satu per satu. Di tengah persiapan kegiatan, saya yang saat itu tengah memasang proyektor untuk menampilkan slide-slide foto di ruang pameran sempat mematung demi menyaksikan sosoknya yang dengan cekatan mengepel ruangan pameran. Kembali logika saya dibenturkan pada kenyataan antara sosoknya yang seorang pimpinan dengan keikhlasannya melakoni berbagai pekerjaan.

Siang itu, di sela kesibukannya mengurus rumah tangga persekolahan yang dipimpinnya saya melakukan temu janji. Ketika saya menyambanginya, tak seperti pemimpin yang pada umumnya berkutat di ruang kerja, dari jauh ia terlihat duduk santai di pinggir lapangan basket. Membaur, tak menjarak dengan peserta didiknya. Tak perlu heran jika suatu kali Anda akan menjumpainya duduk lesehan di lantai saat jam istirahat sekolah, bergabung dengan para murid, karena memang demikianlah dalam kesehariannya. 

Manakala ditelisik alasannya memilih kehidupan membiara, dengan antusias ia mengisahkan ketertarikannya diawali ketika masih duduk di sekolah dasar, ia telah bergelut dengan aktivitas sebagai misdinar. Berlatar orang tua sebagai ketua kring pun ternyata menjadi salah satu hal yang semakin menguatkannya untuk mengenal lebih dekat kehidupan ‘kaum berjubah’. “Dulu kami tinggal di pedalaman, dikunjungi pastor sekali sebulan, dan bisa dipilih menjadi misdinar rasanya senang sekali,” uangkapnya bernostalgia.

Di balik penampilan cerianya, ternyata ia menyimpan penggalan kisah mengharu biru. Flavi kecil pernah hampir putus sekolah. Disebabkan latar ekonomi keluarga yang agak terseret karena ayahnya harus membiayai kakak-kakak lainnya yang juga bersekolah, ia lantas diajak untuk tinggal di pastoran sebagai karyawan semacam koster. Membaca tekadnya yang gigih untuk beroleh pendidikan, sang pastor baik hati yang mengajaknya tinggal di pastoran itu lantas memberikan lampu hijau padanya untuk dapat melanjutkan pendidikan, dengan catatan setiap Sabtu, Flavi kecil harus izin sekolah dan tetap membantu pastor untuk mengunjungi stasi.

Berbagai pergulatan dalam menempuh kehidupan dan pendidikan akhirnya mengantar langkah Flavi pada Kongergasi MTB. Ia paham betul bahwa dunia pendidikan menjadi salah satu konsentrasi dalam kehidupan religiusnya sebagai biarawan. Sebenarnya tak ada hal muluk yang ia harapkan dalam kehidupan karyanya, namun ternyata pimpinan kongergasi membaca kemampuannya dalam memanajemen lembaga. Sepanjang lima tahun belakangan, telah dua sekolah berada di bawah kepemimpinannya, SMA Santo Paulus Pontianak (2010−2014), dan SMP Santo Tarsisius Singkawang (2014−sekarang). Manakala disoal tentang keinginannya yang belum terwujud, masih dengan nada antusias ia berujar, “Saya ingin menulis buku yang isinya tentang humaniora, dan hal lain yang sangat saya inginkan adalah melanjutkan pendidikan ke jenjang S2. Saya hanya ingin melayani dalam dunia pendidikan tetapi jangan posisi sebagai pemimpin, berat bagi saya,” ungkapnya disertai derai tawa. 

Pada akhirnya, banyak hal yang dapat diserap menjadi suri teladan dari sosok pehobi voli dan basket ini; menjadi  pemimpin yang mendengarkan, menghargai, memotivasi, membumi, menebar damai dan sukacita bagi sesama. Selamat berkarya, Der. Semoga selalu dianugerahi kondisi sehat dan penuh dengan berkat. (Hes)   


Riwayat Pendidikan dan Kekaryaan
SD Swasta Katolik (1982-1988)
SMP Swasta Katolik St. Stefanus (1989-1992)
SMA Don Bosco, Ruteng (1992-1995)
KPA St. Paulus, Mataloko, Flores (1995-1996)
Bekerja di Jakarta dan Semarang (1997)
Biara di Jateng (1998-2000)
Pengurus rumah tangga dan guru SD Bruder Kanisius, Siantan Pontianak (2000-2002)
Kuliah di IPAK, Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta (2002-2006)
Asisten Magister Postulan di Pati, Jateng (2006-2007)
Pengurus dan Pembina Asrama dan dosen di Merauke (2007-2010)
Kepala Sekolah SMA St. Paulus, Pontianak (2010-2014)
Kepala Sekolah SMP St. Tarsisius, Singkawang (2014-sekarang)

41 TAHUN LEO AGUNG; MENJADI BAGIAN DARI PAROKI

41 TAHUN LEO AGUNG; MENJADI BAGIAN DARI PAROKI



Sabtu, 5 Desember 2015. Kira-kira empat ratus orang memadati Aula SMP Bruder Singkawang dalam rangka perayaan ulang tahun Kring Santo Leo Agung yang ke 41. Diawali misa yang dipimpin oleh Pastor Paroki, Stephanus Gathot Purtomo, OFMCap, rangkaian acara dimulai pukul 16.00 Wib. Misa berlangsung khusyuk. Dalam homilinya, pastor paroki mengetengahkan besarnya peran keluarga bagi gereja. Warga yang hadir diajak untuk memperjuangkan militansi hidup menggereja melalui perannya baik sebagai kepala rumah tangga, ibu rumah tangga maupun anak. Keluarga merupakan salah satu sokoguru bagi gereja.

Usai misa, Tobias selaku ketua Kring didapuk memberi sambutan. Dalam sambutannya, Tobias mengulas sejarah berdirinya Kring yang pada 10 November 2015 lalu genap berusia 41 tahun. Sebuah angka yang terbilang matang dalam hal usia. Digawangi oleh para sesepuh yang  terdiri dari Alm. Frans Toeng, Alm. Max Sugeng, Yakob, Jumal Riyanto,  Boni F. Sumpo, Max Aen, dan Y.B. Mashuri, kring yang awalnya hanya bernama sesuai nomor urut yaitu kring 7 (dari 17 kring yang ada waktu itu.red), lantas dinamai Leo Agung. Hal ini dilakukan untuk mencocokkan tanggal berdirinya kring dengan peringatan Santo pelindungnya. Ketika sejarah dirunut, ternyata tanggal 10 November merupakan hari peringatan Santo Leo Agung.


Berbagai hiburan berupa tarian, nyanyian, permainan dan door prize menarik dihadirkan dalam acara yang dipandu oleh Br. Flavianus, MTB dan Ibu Ludwina Rita. Ditemui di sela acara, Tobias selaku ketua Kring leo Agung mengungkap bahwasanya ulang tahun kali ini sengaja digelar sebagai ajang silaturahmi antar warga kring yang jumlahnya terbilang besar. “Baru kali ini dirayakan karena untuk mengumpulkan warga Kring Leo Agung terbilang sulit, wilayahnya cukup besar, dibagi menjadi empat kelompok, dan di dalam kelompok mereka memiliki program sendiri-sendiri. Tahun 2015 ini disepakati oleh empat kelompok untuk mengadakan perayaan ulang tahun, sekaligus sebagai ajang silaturahmi antarwarga Kring Leo Agung. Ke depannya kita berencana menggelar kembali acara serupa saat perayaan ulang tahun ke 45,” pungkasnya. (Hes)