Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

14 Mar 2016

Pembelajaran Rela Berbagi Semenjak Dini

Pembelajaran Rela Berbagi Semenjak Dini



Singkawang, Sabtu, 26 Desember 2015. Keriaan menjadi hal nyata yang terbias dalam Gereja Katolik St Fransiskus Assisi, Singkawang. Pagi itu, pukul 08.00 wiba, misa digelar di gereja yang beralamat di Jalan P. Diponegoro. Misa meriah yang masih dalam suasana Natal dikhususkan bagi anak-anak. Maka tak heran jika umat yang memadati gereja kebanyakan dari kalangan anak-anak.

Tak seperti biasanya jika dalam Ekaristi lain, pastor pemimpin misa menyampaikan homili, maka dalam Ekaristi pagi itu digelar drama teatrikal kelahiran Bayi Yesus yang diperankan dengan apik oleh anak-anak Sekolah Minggu.

Seluruh pemain berdandan dan mengenakan berbagai kostum yang sangat mewakili jalan cerita. Umat yang hadir dibuat terpesona oleh aksi yang berdurasi lebih kurang dua puluh lima menit ini. 

Usai pementasan drama teatrikal kelahiran Sang Juru Selamat, Pastor Gathot, OFMCap yang pagi itu memimpin misa memberikan penguatan dengan menyampaikan pesan bahwa Tuhan mau memberikan dirinya bagi kita dalam rupa anak manusia, Bayi Yesus. Di samping itu Pastor juga menyoroti peran tiga raja dari timur sebagai tokoh yang memberikan pelajaran moral sekaligus mengajak seluruh anak agar dapat memetik intisari dari drama tersebut dengan jalan berbagi kepada sesama. Seluruh anak yang hadir dapat dengan rela berbagi sukacita bagi teman-teman di kampung dengan cara mengumpulkan kado agar dapat disalurkan ke berbagai stasi di wilayah Paroki Singkawang.

Kiranya pembelajaran berbagi semenjak dini yang diterapkan oleh gereja memberikan dampak positif bagi tumbuh kembang mentalitas anak agar peka dan peduli bagi sesama. (Hes)
 

Dari Assisi, untuk Kehidupan dan Kemanusiaan di Singkawang

Dari Assisi, untuk Kehidupan dan Kemanusiaan di Singkawang

 


Jika baru-baru ini kita mendengar hiruk pikuk penggalangan suara demi terlaksananya Pilkada serentak di beberapa Kabupaten/Kota di Kalimantan Barat, berbeda dengan yang terjadi di Kota Singkawang. Menilik lebih dekat, di Jln P. Diponegoro No. 1 ini bukan aksi penggalangan suara melainkan kegiatan penggalangan darah lewat aksi donor darah. 

Ya, tepatnya tanggal 20 Desember 2015 kemarin, di Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang sedang diadakan kegiatan donor darah. Kegiatan rutin tahunan yang digawangi oleh kolaborasi WKRI dan OMK Santo Fransiskus Assisi Singkawang, di bawah panji Seksi Sosial Panitia Natal Santo Fransiskus Assisi Singkawang. Aksi kemanusiaan menyumbang darah tersebut menjalin kerjasama dengan PMI Kota Singkawang sebagai satu-satunya organisasi perhimpunan nasional yang menjalankan tugas kepalangmerahan.

Dalam dua tahun terakhir, Gereja Santo Fransiskus Assisi Singkawang memang selalu menjalin kerjasama dengan organisasi bermotto “Setetes Darah Anda, Nyawa Bagi Sesama” tersebut. Kegiatan yang diketuai langsung oleh dr. Liem Jong Chun tersebut berhasil mengetuk hati 28 sukarelawan. Sebuah tindakan tanpa pamrih yang sangat luar biasa.

Hadir juga dalam kegiatan tersebut ketua Perhimpunan Donor Darah Indonesia (PDDI) Kota Singkawang Ibu Malika Awang Ishak. Ketua PDDI Singkawang yang memiliki nama asli Tjhai Nyit Khim itu secara langsung menyatakan sangat mendukung kegiatan sosial donor darah ini. “PPDI adalah sebuah organisasi yang berisi para sukarelawan. Nah, para pejuang-pejuang sosial ini bekerja tanpa dibayar dan terdiri dari semua unsur pekerja dan suku. Jadi siapapun yang ingin terjun dalam aksi sosial donor darah adalah anggota PDDI,” jelasnya. 

Organisasi yang memiliki anggota inti sejumlah 10 orang ini berperan dalam menginisiasi adanya kegiatan donor darah baik di kalangan PNS Kota Singkawang, sektor swasta, dunia sekolah terutama SMA, hingga tempat-tempat religius seperti tempat peribadatan. “Jika Kebutuhan darah di Kota Singkawang terpenuhi tentu hal ini akan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Singkawang itu. Bahkan jika memungkinkan kita bisa mengirim stock darah di Singkawang ke beberapa kabupaten tetangga.”  

Hal senada juga diungkapkan oleh oleh ketua Seksi Sosial Hermanto Halim. Ia mengatakan akan terus mengadakan aksi kemanusiaan seperti ini minimal dua kali setahun demi mendukung terpenuhinya kebutuhan darah di Kota Singkawang. “Dalam dua tahun, ini adalah keempat kali kami mengadakan aksi donor darah. Setahun dua kali biasanya saat 17 Agustus dan menjelang Natal,” tambah pria yang berkecimpung dalam dunia usaha tersebut.

Di tengah gencarnya aksi kemanusiaan pengumpulan darah, ternyata sayup-sayup kita masih saja mendengar adanya istilah “cangkau darah” yang menurut beberapa orang dikatakan sebagai aksi tidak manusiawi. Sejatinya, darah yang telah disumbangkang demi keselamatan nyawa seseorang justru diperdagangkan demi keuntungan pribadi.

Menyadari masih adanya orang-orang “nakal” seperti itu, ibu Malika Awang Ishak menanggapi keras hal tersebut. Ia manyadari hal seperti itu memang ada dan dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Hal seperti itu biasanya terjadi jika kita menyerahkan orang lain yang mengurus kebutuhan darah untuk kita atau keluarga kita. Mereka akan meminta bayaran. Karena itulah kami menyiapkan sejumlah intel untuk mendeteksi hal ini. Semua pendonor terintegrasi  baik dengan bank data yang kami miliki,” tegas wanita yang mengetuai organisasi itu sejak Februari 2015.Di satu sisi kita melihat ada kegiatan donor darah yang bisa dikatakan berisi orang-orang yang berpengalaman dalam bidangnya. Lalu tidak ada salahnya kita melihat sisi lain kegiatan donor darah tersebut.

Masih pada kegiatan yang sama dan diruangan yang sama, sesuatu yang mungkin luput dari pengamatan adalah sumbangsih dari WKRI dan OMK Santo Fransisku Assisi Singkawang. Hanya segelintir anak muda yang secara langsung terjun dalam kegiatan tersebut dibantu seorang wanita yang akrab dengan sapaan “Bu De”. Paling tidak itu adalah yang terlihat saat kegiatan sedang berlangsung. 

Sebuah ironi yang memang nyata ada, sebuah nama kelompok yang berarti besar mewakili sekian banyaknya orang. Namun dalam kegiatannya hanya beberapa pasang tangan saja yang bekerja. Atau mungkin kita bisa mencoba melihat secara terbalik? Sebuah kelompok besar yang pada saat acara berlangsung muncul dengan berbagai atribut pakaiannya namun menghilang di saat harus menyelesaikan “sisa-sisa” hasil “acara”.

Terlepas dari visualisasi sesaat itu, angkat topi harus diberikan kepada seluruh pihak yang berperan aktif dalam kegiatan tersebut. Tanpa menyebut nama dan kelompok semua yang kita lakukan adalah demi kemajuan dan kebersamaan umat di Santo Fransiskus Asisi Singkawang, demi gereja kita bersama dan terutama demi kehidupan.  (Sabar Panggabean)

 

Menebar Ceria dalam Natal Lansia

Menebar Ceria dalam Natal Lansia

 

Senin, 28 Desember 2015. Dentang lonceng gereja memanggil umat untuk hadir dalam misa yang diperuntukkan bagi  umat lansia (lanjut usia). Misa yang digelar di Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi Singkawang ini dimulai pukul 08.00 WIB dengan mendapuk Pastor Gathot Purtomo, OFMCap sebagai pemimpinnya. Dalam homilinya, Pastor Gathot mengajak seluruh umat Katolik yang tergolong lansia untuk tetap berkarya dan bertekun dalam doa.

Misa yang berlangsung khusyuk ini dihadiri cukup banyak umat. Hal ini terlihat dari bangku-bangku gereja yang hampir terisi penuh. Usai misa digelar open house yang ditujukan panitia sebagai ajang silaturahmi, menghibur dan berbagi untuk para lansia. Acara yang digelar di halaman Gereja Santo Fransiskus Assisi ini sanggup menciptakan suasana ceria bagi para lansia. Hal ini tampak dari antusiasme yang timbul dan terbias di wajah-wajah mereka. Pada  akhir acara panitia serta-merta membagikan bingkisan bagi seluruh lansia yang hadir. (Hes)  


Kasih Natal dalam Sembako untuk Alverno

Kasih Natal dalam Sembako untuk Alverno

 

 

Semangat berbagi rasanya tak pernah mati. Sikap toleransi dan peduli menjelma menjadi jati diri. Masih dalam rangka perayaan Natal 2015, seksi sosial Gereja katolik Santo Fransiskus Assisi kali ini menyambangi Rumah Sakit Kusta Alverno Singkawang. Kehadiran seksi sosial yang dimotori oleh Hermanto Halim, S.E., dan juga melibatkan beberapa anggota OMK (Orang Muda Katolik)  ini merupakan kali kedua setelah tahun lalu sukses menggelar acara serupa. Sambutan hangat datang dari suster pengurus dan penghuni kompleks Rumah Sakit Kusta yang juga tercatat sebagai satu-satunya Rumah Sakit bagi penyandang kusta di regional Kalimantan.   

Penyampaian bantuan dilaksanakan pada Minggu, 27 Desember 2015. Dalam sambutannya Hermanto menuturkan bahwa kegiatan bakti sosial ini merupakan wujud nyata Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi dalam cinta dan kepedulian terhadap sesama. Pria berkacamata ini juga menegaskan bahwa bantuan yang diberikan tanpa memandang  latar belakang si penerima , “Kegiatan baksos ini merupakan rangkaian kegiatan perayaan Natal 2015. Maksud dari kegiatan ini adalah kita dapat bersilaturahmi saling mengenal satu sama lain hingga diharapkan tumbuh kasih di antara sesama umat beragama juga demi mempererat jalinan kebersamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Kami berharap semoga bantuan ini dapat berguna bagi saudara saudari terkasih di Alverno ini. Semoga semua dapat merasakan sukacita dan penuh berkah dalam semangat natal,” paparnya. 

Bantuan yang disampaikan oleh seksi sosial kepada suster pengurus Rumah Sakit Kusta Alverno kali ini berupa sembako. Dalam kesempatan yang sama Suster Cristine, SFIC menyampaikan terima kasihnya mewakili pihak Rumah Sakit Kusta Alverno. “Puji Tuhan kami haturkan ke hadirat Yang Maha Kuasa atas  kasih karunia yang boleh kami terima di sini bersama pasien-pasien rumah sakit kusta alverno ini saya dari pihak suster SFIC dalam hal ini mewakili Sr Anjelita sebagai perngurus dan pendamping  harian nyang sedang berhalangan karena kondisi kesehatan dan atas nama perawat-perawat di sini. Dengan kedatangan pihak gereja katolik santo fransiskus assisi singkwang Kami mengucapkan banyak terima kasih atas makanan dan sembako yag disampaikan. Kami tidak dapat membalasnya tapi kasih Tuhanlah yang bekerja di sini dan dengan aksi ini kiranya telah mewartakan karya agung tuhan kepada orang yang miskin dan lemah. Bukan hanya lemah secara fisik juga secara psikologis. Dengan kegiatan ini juga diharapkan dapat menghapus stigma yang berkembang di masyarakat mengenai penderita penyakit kusta ini, ” pungkas suster berwajah teduh ini.
(Hes)                    


29 Feb 2016

SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SEJARAH PAROKI SINGKAWANG



SITUASI UMUM SINGKAWANG


Singkawang adalah sebuah kota yang terletak di Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan, yaitu gunung Pasi, gunung Poteng dan Sakok. Singkawang adalah sebuah nama yang berasal dari bahasa Cina Hakka atau Khek, San kew jong yang berarti sebuah di antara pegunungan dan kuala/muara dari beberapa sungai di tepi laut.
Sebagai sebuah Paroki, Paroki Singkawang dapat dikatakan terdiri atas dua bagian. Bagian pertama adalah bagian yang masuk dalam wilayah Pemkot Singkawang, kecuali wilayah Kecamatan Singkawang Timur yang merupakan bagian dari wilayah Paroki Nyarumkop. Jadi Bagian kedua ialah bagian yang masuk dalam wilayah Kabupaten Bengkayang, yang meliputi seluruh wilayah Kecamatan Capkala dan Sungai Raya.
Di sebelah utara Paroki Singkawang berbatasan dengan Paroki Pemangkat, di sebelah timur dengan Paroki Nyarumkop, dan di sebelah selatan dengan “Stasi” Mempawah, yang merupakan bagian dari Paroki Sungai Pinyuh.
Letak kota Singkawang di persimpangan jalan raya dari Pontianak (145 km) ke Sambas (75 km) dan jalan raya ke Bengkayang (70 km) dan daerah pedalaman menyebabkan bahwa kota ini dari zaman dulu menjadi pusat perdagangan.
Keadaan jalan dan hubungan lalu lintas baik sekali dan lancar kecuali jalan ke beberapa kampung yang terpencil di pedalaman. Penduduknya terdiri multietnis. Ada tiga etnis besar yang berada di wilayah ini, yaitu: Tionghoa, Dayak dan Melayu. Yang lainnya adalah Jawa, Madura, Batak, dll.
Selain pusat pemerintahan, kota Singkawang juga merupakan pusat perdagangan seluruh Kabupaten. Di luar kota bagian utara dan selatan Kecamatan Sungai Raya terutama di kampung-kampung Melayu terdapat banyak nelayan. Di sebelah timur dan selatan kota Singkawang di kampung-kampung orang Dayak terdapat areal-areal pertanian: persawahan dan perkebunan. Orang Tionghoa terkonsentrasi di pusat kota dengan pekerjaan bisnis dan perdagangan, meski tidak sedikit juga mereka yang bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan.

SEJARAH SINGKAT PAROKI SINGKAWANG

 

Singkawang pada awalnya adalah stasi pertama di Kalimantan bagian Indonesia. Sekarang merupakan sebuah paroki yang cukup besar di wilayah Keuskupan Agung Pontianak. Sejarah bermulanya gereja (misi) di Kalimantan dimulai dari Singkawang.
Pada mulanya Singkawang merupakan daerah turne pastor dari Jakarta. Menurut catatan paroki, tahun 1873 sudah ada umat yang dipermandikan oleh Pastor J. de Vries, SJ. Stasi ini didirikan tahun 1885, dengan Pater Staal SJ. sebagai pastor Paroki pertama. Sesudah Pater de Vries, SJ dan Pater Staal, SJ. di tarik ke Jawa, misi di Kalimantan tanpa pastor ini berlangsung dari tahun 1897 sampai tahun 1905.
Sejak masa itu pimpinan misi Yesuit berusaha mencari ordo lain yang bersedia untuk mengurus misi di Kalimantan. Pada tanggal 11 Februari 1905 Kongregasi Penyebaran Iman di Roma mendirikan Prefektur Apostolik Kalimantan yang meliputi seluruh pulau Kalimantan yang dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan pusatnya Singkawang.
Prefektur baru itu dipercayakan kepada Ordo Kapusin. Kemudian Pimpinan Ordo menugaskan kepada Kapusin-Kapusin Negeri Belanda untuk mengurus misi itu.
Pada tanggal 10 April Pater Pacifikus Bos diangkat sebagai Prefek Apostolik. Pada tanggal 30 November 1905 Pater Prefek Pacifickus bersama tiga pastor dan dua bruder menjejakkan kakinya pertama kali di Singkawang, di mana mereka menemukan sebuah gedung gereja kecil dan sebuah rumah pastor yang sederhana. Mereka belum mengerti apa-apa mengenai bahasa dan kebiasaan setempat.
Mereka disambut hangat oleh umat yang terdiri dari orang-orang Tionghoa perantau (kurang lebih 150 orang Katolik). Seorang katekis, pemimpin umat, bertindak sebagai juru bahasa. Pada akhir tahun 1906 tenaga mereka ditambah dengan empat orang pastor, dua orang bruder dan lima orang suster Fransiskanes dari Konggregasi Veghel.
Suster-suster itu mulai mengasuh anak-anak yatim-piatu, mengobati orang sakit, dan mengunjungi tempat pengasingan bagi penderita penyakit kusta, yang terletak di luar kota Singkawang.
Awal 1907 dua orang pastor ditugaskan untuk membuka stasi di Kalimantan Timur. Dan sejak Oktober 1907 seorang pastor menetap di Pemangkat; ia mendirikan Gereja dan sekolah di tengah-tengah orang Daya di Pelanjau, yang tahun 1916 dipindahkan ke Nyarumkop.
Pada permulaan tahun 1909 stasi Pontianak di buka. Bersamaan dengan itu Pater Prefek memindahkan pusat kegiatan misi dari Singkawang ke Pontianak.
Metode yang dipakai oleh para misionaris baru ini tidak lain dari pada yang di pakai di daerah-daerah misi pada umumnya pada masa itu. Mereka berusaha untuk membangun sekolah-sekolah sebanyak mungkin dengan harapan agar anak-anak itu kemudian dipermandikan. Para Pastor, Bruder dan Suster sendiri mengajar di sekolah karena guru-guru belum ada pada waktu itu.
Anak-anak sekolah sedapat mungkin diasramakan, dan di luar jam sekolah dapat dididik secara Katolik. Kebun-kebun karet dan kelapa di sekitar Singkawang dibelikan, ini sebagai sumber materiil untuk misi. Pada tahun 1918 rumah sakit didirikan berkat bantuan subsidi pemerintah; begitu juga dengan rumah sakit kusta (1925).
Bagi sekolah-sekolah besar di kota misi mendapat tenaga baru dari Bruder-bruder MTB (Maria Tak Bernoda) dari Konggregasi Huijbergen yang sejak tahun 1921 memimpin Hollands Chinese School (HCS) di Singkawang, lalu menyusul di Pontianak 1924.
Pada tahun 1913 yang lalu Bruder Wenceslaus telah mulai mendidik beberapa orang untuk menjadi pembantunya dalam pembangunan (Pertukangan), tahun 1928 sekolah pertukangan di Pontianak didirikan.
Tahun 1937 para suster Klaris Kapusines mulai hidup dengan komtemplatif di bumi Kalimantan dalam sebuah biara yang didirikan di samping gedung gereja di paroki Singkawang. Mereka pada mulanya tidak menerima tugas dari luar tembok biara. Hidupnya dengan doa siang dan malam untuk mohon berkat dan rahmat Tuhan atas Umat Kalimantan.
Sampai disini kita melihat karya misi Katolik di Singkawang meliputi: Gereja, sekolah, asrama dan rumah sakit. Para Pastor sering masuk ke kampung-kampung sekitar yang merupakan bagian wilayah Paroki Singkwang. Sampai sekarang metode kerja itu masih berlaku. Hanya di pihak lain keterlibatan awam makin menonjol. Melalui Dewan Paroki dan pembentukan Kring-kring umat awam semakin banyak melibatkan diri dalam kegiatan Paroki. Stasi-stasi luar kota semakin sering dikunjungi oleh para pastor, yang dibantu oleh guru agama dan petugas pastoral awam lainnya. 

Sumber: www.parokisingkawang.blogspot.co.id

15 Jan 2016

SI KAKTUS YANG KESEPIAN



SI KAKTUS YANG KESEPIAN


Matahari menatap padang gurun tiada berkedip. Sinarnya yang putih menyilaukan mata, seakan ingin melumat ciptaan Tuhan yang ada dalam jangkauan tatapannya. 

Akar-akar tanaman mulai lapuk karena tidak berhasil mencari sari makanan, batang-batang kehilangan rantingnya, daun daun menjadi kering berjatuhan. 

Walau tanaman telah menjerit, mengaduh minta pertolongan namun kehidupan tetap saja membisu. Tantangan alam yang sedemikian besar membuat tetumbuhan di padang gurun tersebut tidak mampu untuk tetap bertahan.

Suasana padang gurun terasa lebih gersang saat si Kaktus berdiri termangu sepanjang hari. Batangnya mulai berkeriput tidak kuasa menanggung beban angannya yang melayang menembus batu-batu cadas. Awan yang tengah berbaris berjalan santai menikmati petualangannya, sekonyong-konyong ia mempercepat langkahnya setelah tanpa sengaja melihat sebatang kaktus di bawahnya sedang berdiam diri.

Memang…., tidak semua penderitaan akan membuat ciptaan lain mau bersimpati. Terlebih lagi penampilan Kaktus yang semakin kusut setelah angin kencang menghamburkan debu menerpa wajahnya.

Untunglah, Si Embun tidak ikut-ikutan mengeluh terhadap situasi padang gurun yang gersang tersebut. Bahkan si Embun dengan setia menjalankan tugasnya menyapa di setiap pagi dengan kesegarannya, termasuk tugasnya memberi kesejukan kepada si Kaktus, melindungi dan menyegarkan kesendiriannya. 

Tetapi angan si Katus yang senantiasa bergolak, membuat dia terus berdiam diri terhadap sapaan si Embun yang senantiasa ingin mendekatinya. 
Sampai pada suatu hari :

“Sobat, mengapa kau biarkan murung hidupmu, hingga ujung batangmu kini layu, berkeriput seperti ini?” tanya si Embun.

“Aku merasa hidup harianku tidak berguna lagi.” Sahut si Kaktus. Lihatlah, tidak ada tanaman lain yang mau menemani aku hidup di sini. Tak seekor burungpun yang mau menengokku. Aku merasa hidup sendiri. Alangkah indahnya kalau aku hidup di sebuah sungai yang mengalir deras airnya, ditumbuhi berbagai tanaman dan bunga-bungaan penuh dengan sahabat-sahabat yang bisa aku ajak bicara, berbagi pengalaman dalam perjalanan hidup ini. Sehingga aku tidak kesepiaan lagi,” si Kaktus mencurahkan isi hatinya kepada si Embun.

“Berhentilah berangan-angan, Sobat, sebab anganmulah yang justru membuat hidupmu sepi,” jawab si Embun.

“Bagaimana mungkin aku melepaskan anganku, kalau hanya itulah  yang menjadi obat hidupku,” sahutnya.

“Sobat, anganmu justru menjadi penyakit dalam hidupmu sendiri, karena hidup ini bukan hanya sebuah angan-angan tetapi kenyataan. Coba bayangkan kalau engkau hidup di sekitar sungai, maka kau akan segera dijemput ajal. Bukankah akarmu akan mudah busuk, karena banyak kandungan air yang sebenarnya tidak terlalu engkau butuhkan yang terpaksa harus engkau serap? Disamping itu, berteman dengan beraneka tanaman dan bunga-bunga seperti yang engkau harapkan juga tidak akan membantu hidupmu, kalau semuanya hanya engkau lakukan untuk menghilangkan kesepianmu,” ujar Embun. 

Sesungguhnya berteman dengan cara yang sedemikian tidak akan membantu mengisi kekosongan hati yang mengalami kesepian. Bahkan aneka hiburan juga tidak akan banyak membantu, selama hidup masih terlepas dari sebuah kenyataan. 

Sobat, untuk itu kembalilah ke dalam hidupmu sendiri terlebih dahulu. Jangan biarkan anganmu menguasai hidupmu, supaya engkau cepat sadar akan realita yang harus kau hadapi. Apabila kau berusaha untuk selalu sadar akan realita yang ada dalam hidupmu, maka hidup akan menjadi sebuah kerinduan yang tidak akan menghadirkan banyak tuntutan yang menjerat.

Singkawang, Awal Desember 2015


Image by Google



WE LIVE, WE LEARN, AND WE UPGRADE (DAPATKAH AKU TAHU KEHENDAK TUHAN DALAM HIDUP KU?)

WE LIVE, WE LEARN, AND WE UPGRADE
 (DAPATKAH AKU TAHU KEHENDAK TUHAN DALAM HIDUP KU?)

Image by Google

Seseorang mungkin pernah merasa bahwa tanggung jawab dunia itu ada di pundaknya. Merasa bahwa ada beban yang menekan bahunya dengan sangat kuat hingga menghimpit paru-parunya. Dan akhirnya, orang itu jadi susah bernapas. Bagi yang memiliki riwayat penyakit jantung mungkin harus berhati-hati.

Lamanunanku terantuk pada hal itu ketika aku duduk terpaku bak orang yang putus cinta di halaman gereja “Damai Bagimu”. Angin sepoi yang membelai wajahku mampu mengajakku masuk jauh lebih dalam menggali memori beberapa waktu ke belakang. Meskipun tidak ada lagi kabut asap yang menghalangi pandangan, namun sepertinya banyak sekali asap yang masih berputar-putar di dalam kepala ini, waktu itu. 

Aku teringat seseorang yang memiliki romantisme dengan masalah. Seperti masalah itu adalah bulan madu baginya. Atau seseorang yang merasa banyak hal yang harus dikerjakannya sehingga cara hidupnya harus berjalan monoton. Tidak pandai cara menikmati kesenangan selain tumpukan tugas dan misi pribadi yang harus diselesaikan. Aku harap ia masih ingat cara untuk tersenyum. 

Ya, tersenyum saat gembira itu biasa tapi tersenyum saat ujian menyapa itu luar biasa. Tidak semua orang bisa melakukannya. Kalau kata Aristoteles, dibutuhkan kecerdasan secara emosional untuk dapat melakukannya. Sebagai manusia yang penuh dengan berjuta kelemahan, kita tidak bisa menafikan hal itu. Terkadang masalah pribadi datang bertubi-tubi, belum lagi pekerjaan yang membuat jengkel, tumpukan pekerjaan rumah yang tiada habisnya, serta semua hal yang sangat mempengaruhi kredibilitas serta image kita di mata orang lain. Percayalah, hidup ini tak sekejam sinetron Indonesia tapi juga tak seindah drama Korea.

Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, aku akan memberi kelegaan kepadamu (Mat 11:28). Terkadang kita lupa dengan itu. Seperti bahwa dalam hidup ini kita menanggung masalah kita sendiri. Tidak jarang masalah itu memengaruhi cara bergaul kita dengan orang lain dan cara kita berserah pada Tuhan. Dengan masalahnya menganggap kalau mereka adalah prioritas. Ada keangkuhan pribadi ingin terlihat lebih besar daripada yang lain dengan masalah itu.

Ini bukan ajang pengadilan sebagai bentuk pembenaran atau menghakimi. Hanya menilik sedikit ke dalam kalbu ini. Untuk beberapa kasus, kita mungkin bisa bergembira dengan dengan siapa saja namun kita tidak bahagia. Semua pasti setuju jika dikatakan uang tidak bisa memberikan kebahagiaan. Tapi bagaimana dengan uang dalam jumlah besar dan masuk rekening secara rutin?
Marilah kepada-Ku, itu artinya sebuah undangan. Tuhan menawarkan bahu-Nya untuk kita bersandar. Dia sendiri yang mewarkan, lalu kenapa kita menolak? Undangan untuk meletakkan beban kita, tidak menanggungnya sendiri dan berserah pada-Nya. Lalu bagaimana cara kita menerima undangan itu?

Milikilah keintiman dengan Tuhan. Memberikan waktu teduh untuk kita berbicara dengan-Nya. Ketuk rumah Tuhan dan katakan kita merasa lelah dan ingin istirahat sejenak. Kita datang dengan hati yang benar-benar mau berubah, rindu akan Dia dan hadirat-Nya. Bagian kita hanya melakukan apa yang bisa kita lakukan dengan usaha terbaik kita dan biarkan sisanya menjadi pekerjaan Tuhan. Percayakan pada Tuhan hal-hal yang tidak bisa kita kerjakan atau kendalikan.

Memuji Tuhan dengan segenap hati. Puji Dia dengan segenap hati bukan hanya di mulut saja. Apa yang kita rasakan sampaikan kepada-Nya. Karena nyanyian itu adalah doa hadirat Tuhan yang dituangkan dalam lantunan lirik dan not balok.

Baca firman-Nya. Carilah firman itu, renungkan, hafalkan dan klain janji -Nya. Ia sendiri telah memikul dosaku dalam tubuh-Nya di kayu salib, supaya aku, yang telah mati terhadap dosa, hidup untuk kebenaran. Oleh bilur-bilur-Nya aku telah sembuh (1 Petrus 2:24). Percaya akan firman-Nya sebab Dia tidak akan pernah meninggalkan kita.

Lalu apa itu letih lesu dan berbeban berat? Itu adalah keadaan tanpa semangat, tidak ada pengharapan, khawatiran. Sebuah keadaan yang dapat membuat kita menjadi tokoh antagonis. Kita letih lesu oleh persoalah hidup dan beban dosa kita.

Ya, pada akhirnya aku menulis bukan untuk membuktikan siapa aku. Menunjukkan setinggi apa ilmu yang aku miliki, seluas apa kebijaksaan ku atau sebesar apa pengakuan yang ku harapkan. Aku ingin menunjukkan betapa kurangnya diri ini dengan lamunan yang sedikit mengupas  kulit pembungkus kerapuhan yang ditutupi. Terkadang tidak ada salahnya kita menyempatkan diri untuk berbicara dengan diri sendiri. Mengukur bagaimana kita mengukir jalan untuk bisa digunakan oleh orang lain, memperbaiki setiap langkah yang mungkin memengaruhi jalan orang lain, menjadi jembatan bagi jalan yang lebih baik dan mengorbankan beberapa bagian dalam diri kita meski yang didapat tidak lebih besar dari pengorbanan. 

Sebab kehidupan tidak diukur dari goresan tinta yang telah dibubuhkan pada kertas. Tapi pada aksi yang memberikan makna bagi orang lain. Hidup tidak diukur dari banyaknya udara yang kita hirup, tapi dari momen-momen yang membuat kita sulit bernapas. Beban salib dalam hidup akan selalu ada karena itu adalah ujian bagi setiap yang hidup untuk semakin dekat dengan-Nya. Tidak ada salahnya meletakkan beban itu sejenak dan melegakan diri. You live, you learn and you upgrade!

Tuhan……
Jika aku terlalu kecil untuk melihat kebesaran kasih-Mu
Berikan aku kesempatan untuk menapaki puncak Kalvari-Mu
Demi melihat keagungan karunia-Mu

(Sabar Panggabean)