Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

23 Mar 2016

MENJADI PEREMPUAN KRISTIANI ADALAH UNTUK BERPROSES

MENJADI PEREMPUAN KRISTIANI ADALAH UNTUK BERPROSES


Merupakan anugerah yang amat besar untuk siap menyongsong hari pembukaan Tahun Kerahiman yang bertepatan dengan peringatan 110 Tahun Misi Kapusin di gereja Singkawang. Dalam kesempatan ini saya ingin menyapa kaum perempuan secara khusus. Sudah layak dan sepantasnya Anda semua dan saya mensyukuri atas karunia hidup sebagai perempuan yang secara fisiologis memiliki rahim dan secara spiritualitas diharap mampu memiliki sifat kerahiman seperti Allah karena kita diciptakan menurut citra gambar Allah. Kita dari Allah, dalam Allah, menuju Allah. 

Inilah waktu dan kesempatan sangat baik untuk kembali menyadari, merenungkan dan belajar tak kunjung henti membatinkan nilai-nilai luhur sebagai eksistensi perempuan Kristiani, agar hidup dan tumbuh berkembang dalam naungan kerahiman Allah sekaligus mewarisi sifat-sifat kerahiman Allah. Siapapun kita perempuan dipanggil untuk menjadi bahagia, dan siapa yang bahagia? Tidak hanya ibu yang mengandung, melahirkan, dan menyusui bayinya tapi Yesus berkata, “Yang berbahagia adalah mereka yang mendengarkan firman Allah dan memeliharanya.” (Luk 11:28) Ini pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh semua murid-Nya. Kita semua memiliki peranan penting/vital dalam hidup yaitu mengambil bagian menjadi tulang punggung kehidupan dan keselamatan. Sebagai apa kita dipanggil, semua adalah baik adanya. Meski demikian gereja amat membutuhkan perempuan-perempuan yang rela untuk mendedikasikan diri seutuhnya bagi kerajaan Allah dalam hidup bakti (membiara).

Amat besar harapanku semoga ada banyak pemudi hanya tertambat hatinya kepada kasih setia-Nya yang besar dan mau mengikuti-Nya kemana Dia mau dari hidup dan keselamatan sebanyak mungkin jiwa-jiwa.

Bagi kita semua baik yang berkeluarga maupun yang menjalani hidup bakti akan sungguh bahagia jika senantiasa menyangkal diri memanggul salib dan mengikuti-Nya. Dari saat ke saat menjawab “Ya” dan melakukan apa saja yang dikehendaki-Nya. Maka kita akan tumbuh dan berkembang menjadi pribadi perempuan Kristiani sejati menjadi perempuan matang tangguh bertanggung jawab secara konsisten terhadap pilihan hidup kita masing-masing. Siap menjadi ibu bagi keluarga, gereja, masyarakat secara seimbang, ulet, dewasa dan bijak, berani jatuh bangun, malang melintang menerjang badai dan ombak demi keselamatan hidup. 

Dulu sering kudengar pepatah mengatakan, “Surga ada di telapak kaki ibu,” karena memang mereka sanggup berada, melayani dengan penuh cinta tulus dan murni bersahaja, ikhlas seperti Allah yang rahim dan penuh belas kasih. Sekecil apapun, sesederhana apapun yang kita buat dan kerjakan, berharga di hadapan-Nya.    

Tentu kita semua menghadapi kadar kesulitan,  tantangan serta kesakitannya masing-masing. Namun dengan penuh percaya semua pergumulan akan teratasi, karena kita sudah biasa menderita kesakitan secara alamiah. Seperti seorang ibu melahirkan bayinya, mereka semua menanggung kesakitan sendirian, orang lain sebatas menemani atau memberikan pertolongan. Pengalaman itu menempa dirinya menjadi memiliki kesanggupan menghadapi segala tantangan secara tegar, ulet, tangguh, dan tawakal penuh iman.

Sr. Faustina menyebut pukul 15.00 adalah waktu yang merupakan kerahiman puncak derita Yesus disalib sampai wafat. Dia wafat demi hidup dan keselamatan semua manusia. Telah amat biasa kita tahu, seperti biji ditabur mati, lalu tumbuh, hidup, dan berbuah. Pekerjaan kita percaya sekaligus masuk dalam proses mati demi hidup dan keselamatan. Mari kita terus saling mendukung dalam berproses menjadi murid Kristus yang handal. Roh kudus akan selalu menaungi dan mengajar kepada seluruh kebenaran baik dalam keberadaan, sepak terjang perjuangan hidup maupun dalam karya. 

Kita satu dalam doa, dalam pergumulan iman, harapan dan kasih dalam Allah yang senantiasa memberkati kita, Dia takkan meninggalkan kita satu detik pun, Dia mengerti dan sungguh peduli akan segala lekuk liku hidup kita semua sampai ke relung-relung hati yang terdalam. Sebab kita amat berharga di mata-Nya.

Untuk itu perlu membiasakan diri menciptakan hati wening agar dapat melihat, mendengarkan, merasakan, memahami, dan berdialog pada Sang Guru Yesus Kristus, pada sepanjang jalan hidup-Nya sampai dengan tergantung di ketinggian salib dan dan wafat, dan pada Ibu Maria, ibu Yesus dan ibu kita semua yang mengalami proses mengandung, melahirkan, mengasuh, mendampingi Yesus, hadir berdiri tegak di bawah salib-Nya, menerima jenazah-Nya, kebersamaan dengan para murid-Nya, hingga kini bersama kita para murid. Di sana kita akan menemukan kamus kehidupan untuk belajar ambil bagian dalam membatinkan nilai-nilai Kristiani dan untuk menghidupinya sampai mati.

Semoga, ya, semoga kita tidak menyimpang dari jalan-Nya, tetapi kalau toh jatuh, marilah kembali lagi, memulai lagi.

Saudariku dan diriku sendiri selamat berproses sampai detik akhir, sambil senantiasa percaya bahwa hanya Dialah andalan dan penyelenggara hidup kita. Dia akan memampukan kita untuk menempuh jalan hidup di belakang-Nya. Sebab hanya pada-Nya ada jalan kebenaran dan hidup. 

“Selamat, dan profisiat!” 

13 November 2015
Salam dan doaku, 
Sr. Pia OSCCap            

DOA

DOA


Karya Pena : Sr. Maria Magdalena OSCCap


Doa…menyapa, memanggil, berbicara
Diungkapkan semua yang ada di jiwa
Tiada segan, tiada sungkan
Karena doa bagaikan cinta dua insan

Yang selalu ingin berjumpa
Enggan pula untuk berpisah
Karena hati berbunga-bunga
Segalanya serba indah

Jiwa pun turut berkobar-kobar
Terbakar asmara cinta yang mengagumkan
Karena diarahkan pandangannya untuk Dia
Yang menjadi pujaan hati dan jiwa seluruh kehidupan

Sedikit kesempatan doa, merupakan keuntungan
Bagai intan permata terpendam ditemukan
Sungguh menyenangkan dan membahagiakan
Tinggal bersama Dia senantiasa

Walau akhirnya tiada kata yang terucap
Hanya diam seribu bahasa di hadapan-Nya
Namun banyak makna tersingkap oleh-Nya
Karena Ia tahu segalanya

Yang kuperlukan dan kubutuhkan
Bahkan! Apa yang tak kuminta, ia berikan
Segalanya sungguh menakjubkan memesonakan
Hingga padang gurun yang tandus menjadi alam surgawi

Oh! Mengagumkan, semua berubah karena doa
Ini karya ajaib Sang Pencipta
Hingga apa lagi yang harus aku ucapkan
Hanya syukur dan terima kasih aku haturkan kepada-Mu Tuhan

 

“Mentari Pembawa Cahaya”

“Mentari Pembawa Cahaya”

Google Images.Jpg


“Tak peduli dari mana asalmu, lahir di pelosok perdesaan ataupun perkotaan dan dari rahim orang tua manakah kamu berasal itu bukan menjadi persoalan. Yang terpenting adalah kebaikan hatimu. Hati yang membawa seberkas cahaya bagi dirimu sendiri dan dunia sekitarmu.”

Pesan itu jelas teringat kembali di benak Mentari. Pesan yang sangat kuat menyatu dalam hatinya. Tetua Dusun Paratisara yang bernama Pak Tua Sastranarendra selalu memberikan petuah-petuah bijak kepada putri angkat kesayangannya. Pak Tua selalu berkata kepada Mentari, tidak perlu malu dan merasa rendah diri tentang siapa diri kita. Kita yang berasal dari rumah pondok beralaskan tanah dengan memiliki niat mulia bagi kehidupan suatu saat akan berjodoh dengan nasib baik yang akan merubah keadaan dan dunia sekitarmu.

Mentari, gadis remaja yang berusia 13 tahun. Hidup di sebuah dusun pedalaman hutan karet, ladang dan sawah yang menghijau. Kedua orang tuanya telah lama tiada sejak kebakaran hutan yang membakar habis rumah beserta ladang dan merenggut nyawa kedua orang tua yang amat ia cintai. Sejak berumur 5 tahun, Mentari sudah dititipkan dengan Pak Tua “Ketua Adat” di dusun itu. Beliau hidup sangat sederhana bersama istrinya bernama “Mak Tua Amora”. Sejak kecil ia dididik untuk selalu dekat dengan alam semesta sumber kehidupan bagi umat manusia. 

Selepas bangun pagi, Mentari selalu diajak Pak Tua menuju sungai kecil di sekitar sawah padi milik tetangga mereka. Di tempat itulah mereka biasanya melakukan rutinitas keheningan. Berterima kasih kepada alam semesta. Konon, kata Pak Tua jika kita selalu berbakti kepada alam semesta maka kita akan dilindungi dan diberkati senantiasa. Sambil meminum aliran air sungai kecil di pancuran bambu, mereka bersama-sama mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada Tuhan Sang Pencipta alam semesta. Berterima kasih pada gunung, sawah, hutan, sungai, langit, tanah, udara, angin, air, hujan, matahari, pelangi, hewan, tumbuhan dan segala semesta seisinya. Sejak kecil Pak Tua mengajari Mentari agar bersahabat bersama alam dan selalu menyapa mereka di mana pun ia berada.

Mentari merasakan kedekatan dengan alam semesta. Banyak bahasa semesta yang dapat ia dengar dan rasakan, seolah-olah mereka dapat berkata dan mengajari Mentari dalam bahasa heningnya. Tanah mengajarkan ia cara untuk bercocok tanam, air mengajarkan ia agar selalu tenang dan rendah hati,  dari matahari ia belajar menjadi ikhlas dan adil kepada semua makhluk ciptaan Tuhan. Karena matahari memiliki peran kebaikan sinar yang tak terbatas tanpa membeda-bedakan.  Mungkin, karena inilah kedua orang tuanya memberikan nama  “Mentari” dan menambahkan nama  baptis pelindung di depannya yaitu “Theresia Mentari”. Sosok matahari yang akan menginspirasi dan menjadi pedoman hidup anaknya agar kelak dapat bersinar terang penuh dengan kebaikan kepada semuanya. Itulah sedikit cerita peninggalan orang tua Mentari ketika ia lahir di Dusun Paratisara.

Daun-daun pohon bergoyang indah, seakan melambaikan tangan mengiringi langkah Mentari kemanapun ia pergi. Kehadiran semesta tampak nyata di dalam hidup Mentari mulai dari angin sepoi-sepoi yang menghiburnya kala ia kelelahan bekerja di ladang dan burung pipit yang bertengger di kepalanya bersiul-siul kecil. Mentari paling suka memandang langit biru, bersamanya ia menjadi semangat dan optimis memandang masa depan. Langit biru dengan keceriaannya selalu memberi pesan agar ia selalu giat dalam bekerja dan belajar. Terlebih lagi langit biru akan selalu menjaga ketika ia berjalan menuju sekolah di kaki bukit Hijau Permai. Di sanalah 6 tahun lamanya Mentari bersekolah hingga mendapatkan ijazah Sekolah Dasar Negeri 1 Dusun Paratisara, Kecamatan Permata, Kabupaten Mutiara. 

Sejak kecil Mentari terbiasa bekerja membantu Pak Tua dan Mak Tuanya. Sepulang sekolah. ia dengan tertib menyimpan tas, sepatu sekolah dan menganti baju seragamnya. Sambil berdendang riang kecil, ia berlari pergi menuju ladang dan sawah garapan orang tua angkatnya. Ia mencabut rumput, membersihkan daun-daun  kering dan gulma yang menyerang tanaman dan padi mereka. Sesekali ia beristirahat menikmati bekal makan siang yang dibawakan Mak Tua Amora. Kadang pula ia mengangkut air sungai sumber mata air pegunungan di dusun tersebut untuk persediaan air bersih di rumahnya. Semuanya Mentari lakukan dengan senang dan gembira. Mentari terkenal sangat ringan tangan, sering membantu teman sebayanya dalam bercocok tanam dan menjual hasil ladangnya di pengumpulan hasil panen rumah saudagar “Pak Tony” di dusun seberang. Hal itulah yang membuat semua orang di Dusun Paratisara mencintai dan menyayangi Mentari. 

Kesibukan Mentari di malam hari adalah membuat kelompok belajar bersama anak-anak tetangga sekitarnya. Mentari yang lebih tua mengajari anak yang lebih muda, belajar membaca dan menulis. Terkadang ia memberikan pertanyaan-pertanyaan pengetahuan umum pada teman-temannya yang ia peroleh dari siaran favoritnya yaitu acara kuis di televisi ataupun buku yang telah dipelajarinya. Mereka sangat senang akan kebaikan hati si ‘guru cilik’ Mentari. Sesuatu yang sederhana dapat menjadi sangat luar biasa bagi yang mengamati dan melihat cara Mentari memberikan pengetahuan dan pengajaran bagi anak-anak lainnya.  Mentari merasa bahagia dapat membagikan ilmu yang dimilikinya. Baginya berbagi ilmu adalah kebaikan tertinggi, kelak ia akan lebih mendapatkan banyak pengetahuan tak terbatas ketika ia mau berbagi kepada yang lain. Itu merupakan  motto hidupnya.

Suatu hari yang cerah, burung mengangkasa membubung tinggi ke langit biru, angin semilir sepoi-sepoi bertiup seakan melodi yang berirama mengalunkan nada semesta. Kediaman Pak Tua Sastranarendra kedatangan sebuah mobil jeep merah tua. Seorang pria separuh baya memakai jubah coklat bersama seorang pemuda gagah datang mengunjungi pondok itu. Tak disangka, ternyata beliau adalah seorang Pastor Paroki yang ada di Gereja Santa Maria di Kabupaten Mutiara. Pastor Paroki itu bernama Ignatius Raymond. Sedangkan pria yang bersamanya adalah seorang pemuda yang berasal dari Jakarta yang bernama Raden Bagus Jayadiningrat. Maksud kedatangan mereka adalah ingin memberikan bantuan beasiswa bagi siswa yang berprestasi. Pastor Ignatius Raymond mengetahui bahwa selama Ia tourney ke Dusun Paratisara, ia melihat Mentari merupakan anak berbakat yang putus sekolah. Selain itu, ia juga melihat kebaikan murni yang ada di diri Mentari. Pastor Raymond yakin Mentari akan dapat menjadi seorang yang memiliki manfaat lebih bagi sesamanya. 

Pemuda Raden Bagus Jayadiningrat merupakan seorang donatur yang peduli akan pendidikan anak bangsa. Ia juga memiliki sekolah yayasan SD, SMP, SMA, dan Universitas yang Ia bangun bersama donatur-donatur yang peduli akan pendidikan di Indonesia. Mendengar hal ini, Mentari berderai air mata terharu dan bahagia. Mimpinya yang semula hanya ingin menjadi guru baca dan tulis bagi teman sebayanya, ia menemukan “pintu ajaib” yang akan membawanya menjadi seseorang yang lebih baik lagi. Mentari pun menyanggupi untuk bersekolah di SMP, SMA dan Universitas Yayasan “Indonesia Bangkit” milik kumpulan para donatur yang berhati malaikat itu. Dengan berat hati Pak Tua dan Mak Tua nya melepas kepergian Mentari. Pesan terakhir Mak Tua Amora kepada Mentari adalah : “Jika kamu menjadi orang besar nanti, jangan lupa kedudukan, jabatan, kekayaan, kepandaian adalah sebuah jembatan untuk menghubungkan kebaikan Tuhan yang ada di dirimu. Kamulah Mentari, bawalah cahaya itu bersama hatimu. Lakukanlah banyak kebaikan yang dapat memberikan kehidupan bagi sesama.”

Petuah-petuah bijak Pak Tua dan Mak Tua akan selalu Mentari ingat dan laksanakan dalam perjalanan hidupnya. Mentari dengan ikhlas dan penuh hormat berpamitan dengan kedua orang tua angkatnya yang sudah a anggap sebagai Ayah dan Ibu kandungnya. Ia memiliki cita-cita yang luhur, jika telah lulus nanti ia akan kembali pulang ke kampung halamannya untuk menjadi jembatan bagi anak-anak lainnya. Mentari ingin memberikan hidup bagi sesamanya yang membutuhkan dan berkekurangan. 

Seseorang yang sangat menghormati alam semesta dan memiliki kebaikan murni yang berasal dari hatinya, selalu diberikan kebaikan-kebaikan oleh tangan-tangan yang tak terduga. Tetaplah memiliki kebaikan hati layaknya Mentari. Kebaikan hati itulah yang akan menjadi cahaya penuntun perjalanan hidup kita selanjutnya. (SHe)


JALAN SALIB PERHENTIAN 1-14

Memasuki masa Prapaska tiada salahnya kita hening dalam permenungan yang menjadikan kita setapak tak berjarak dengan-Nya dan Sang Putera yang atas darah-Nya janji keselamatan sungguh tidak terbantahkan.    

JALAN SALIB PERHENTIAN 1-14

Perhentian pertama: Yesus Dihukum Mati.



Maka berteriaklah mereka, “Enyahkan Dia! Enyahkan Dia! Salibkan Dia! 

Dia tidak melawan dengan kata maupun perbuatan atas segala sesah, maki dan fitnah, yang bagai berkekuatan ribuan godam dihantamkan pada dahi-Nya, pada wajah-Nya, pada tubuh-Nya. Dia diputus mati oleh pengadilan manusia-manusia pendosa,  Dia memilih bungkam untuk semua hal yang tak dilakukan namun ditimpakan atas raga-Nya yang berwujud manusia.  Ribuan bilur luka yang sengaja ditorehkan manusia pendosa pada tubuh-Nya, diterima-Nya dengan mata memincing menahan perih tanpa sedikitpun mengaduh walau dalam lirih. Air mata-Nya tak lagi bening, sudah berupa darah dan nanah mengalir menjadi anak-anak sungai keselamatan abadi  bagi umat yang dimaterai-Nya. 

Seringkali dalam hidup kita tak pernah bisa terima ketika mendapat sedikit saja perlakuan yang dirasa tidak adil bagi diri kita, keluarga kita atau sanak saudara kita. Kita lantas tak memilih bungkam atas perlakuan tak adil itu, kita berpikir, memutar otak bagaimana cara termangkus membalas perlakuan tak adil tersebut, minimal memprotes keras, tanpa berusaha introspeksi diri mengapa sampai kita menerima perlakuan tak adil. Ketika terjerembab dalam situasi itu, ingatlah bahwa dua ribu tahun yang lalu, Yesus telah mengajarkan kita untuk berusaha diam, menahan diri, dan melihat lebih jauh maksud dari penyelenggaraan Bapa. Dia yang kita sebut Anak Allah rela membiarkan tubuh-Nya tergantung di kayu Salib demi apa yang tak pernah diperbuat-Nya, layakkah kita yang hanya disesah sedikit saja permasalahan dari dunia manusia yang fana selalu mencari pembenaran diri?

Perhentian kedua: Yesus Memanggul Salib.


Sambil memikul salib-Nya Ia pergi keluar ke tempat yang bernama tempat Tengkorak, dalam bahasa Ibrani: Golgota.

Disesah, diludahi, dipukul, dihina untuk sesuatu yang sama sekali tak diperbuat-Nya. Dia diam, Dia tetap berjalan memanggul ratusan kilo kayu yang nanti menjadi singgasana terakhir-Nya dalam dunia fana, singgasana yang sebelum pengkultusan-Nya adalah simbol bagi yang paling hina, yang paling jahat, yang paling biadab. Dalam diam, tak hanya tubuh-Nya yang rusak oleh pembantaian, ada yang  lebih menyiksa dari itu, batin-Nya remuk redam. Umat yang dicintai-Nya, umat yang kepada mereka seringkali diberkahi-Nya dengan mujizat, umat yang seminggu sebelumnya mengelu-elukan nama-Nya dengan daun palma kini berbalik menghujat-Nya. Penderitaan macam apa yang lebih menyakitkan selain dikhianati? Selain tidak diakui, selain ditolak? Dia mengalami itu semua, Dia mengalaminya dalam satu kurun masa, namun Dia tetap membungkam mulut-Nya meneruskan perjalanan dengan beban salib pada pundak-Nya. 

Seringkali dalam kehidupan kita mengalami serupa yang dialami-Nya, merasa memanggul salib dalam kehidupan kita.  Salib yang membebani pundak kita tak dapat kita bandingkan dengan salib yang berada di pundak-Nya. Salib di pundak-Nya adalah salib dosa miliaran umat manusia, lebih berat, lebih kasar, lebih menyiksa. Salib yang kita panggul adalah salib pribadi kita sendiri. Namun meski ringan seringkali kita mengeluh, merasa menjadi manusia paling menderita di dunia, merasa paling mengalami nasib sial padahal jika sedikit saja kita mau membuka mata kita, kita akan melihat di sekitar kita ada salib lebih berat yang dipanggul sesama kita. Masih layakkah kita mengeluh?

Perhentian ketiga: Yesus Jatuh Pertama Kali




Begitu berat beban salib kasar yang dipanggul-Nya, dalam langkah tertatih, Ia terjerembab pertama kalinya.

Perlahan namun pasti Dia melangkah pada tanah kerontang, darah dari luka-Nya tak kunjung berhenti menetes. Ia dipukul, dicambuk, dipaksa kuat menanggung beban salib begitu berat. Sampai pada suatu tempat, langkah-Nya terhenti, kaki-Nya tak kuat menyangga tubuh perih penuh luka cambuk dari para algojo belum lagi sang beban yang semakin menapak seolah semakin berat. Saat itu, dalam kekuatan-Nya yang hanya berwujud manusia biasa, Ia roboh mencium tanah Bapa-Nya. 

Pertama dari ketiga kali, Ia yang saat itu hanya berkekuatan dan berwujud manusia biasa jatuh dalam perjalanan-Nya menuju bukit Golgota. Ia terjerembab di tanah kerontang, tanah para pendosa. Kejatuhan-Nya pertama kali seperti halnya ketika kita melalui fase dalam hidup. Ketika masih berwujud kanak-kanak, sering dalam perjalanan menuju kedewasaan kita mengalami kejatuhan. Saat itu segala asa seolah bertaruh dalam jiwa kanak-kanak kita. Ketika jatuh pertama kali dalam perjalanan menuju Golgota, tanpa berselang lama, Yesus kembali berdiri, Dia mengumpulkan segala kekuatan-Nya untuk meneruskan perjalanan-Nya, Dia kembali menapaki jalan luka-Nya. Dia memberikan suri teladan bagi kita, yang ketika kanak-kanak mungkin pernah mengalami keterpurukan, trauma dan kesakitan dalam khas dunia kanak-kanak.  Dia bangkit berdiri, lantas, apa alasan kita untuk tak mengikut  jejak-Nya? 

Perhentian keempat: Yesus Berjumpa dengan Ibu-Nya.



Tiada lagi semarak pada wajah-Nya, ketampanan-Nya sirna oleh darah yang mengucur dari dahi-Nya yang bermahkota semak duri tajam. Ia berhenti dalam perjalanan-Nya, dijumpai-Nya bunda-Nya dalam perjalanan luka-Nya.

Dalam perjalanan luka-Nya, tertegun ia menatap wajah ibu-Nya. Ibu yang mengandung-Nya dalam rahim yang suci, ibu yang mengusap peluh-Nya saat nyali-Nya tak sengaja runtuh, ibu yang selalu membasuh hati-Nya dengan pandangan penuh cinta. Mereka beradu pandang, namun keduanya diam, sama menangis, sama menyelami luka, sama menyelami derita. Dalam bungkam, dalam diam, jiwa-Nya saling berselam, batin-Nya saling mengobati. Tanpa harus diucapkan, ibu paling memahami arti air mata-Nya, ibu paling tersiksa melihat bilur-bilur luka sang belahan jiwa.  

Ibu, sosok wanita terhebat dalam setiap hidup manusia. Ibu yang lemah lembut, sabar sekaligus tegar menghadapi segala permasalahan dalam kerasnya percaturan hidup. Namun seringkali ketangguhan dan kasih sayang ibu tergeser ketika kita mulai mengenal lawan jenis yang mampu menggetarkan hati kita, menjadi pasangan kita. Ketika mengalami kesenangan, yang sering kali kita cari adalah pasangan,  ketika  mengalami kesedihan, kepada ibu kita selalu berkeluh kesah menceritakan , saat sukses kita ceritakan pada pasangan,  saat gagal, kita hanya bercerita pada ibu sebagai sandaran. Saat bahagia kita memeluk erat pasangan, saat sedih kita peluk erat ibu, kita selalu total saat mengingat pasangan, sementara, selalu hanya ibu yang mengingat semua hal tentang kita. Ibu selalu memberikan sepenuh hidupnya untuk anak-anaknya, namun berapa banyak yang sanggup mengelap muntahan ibunya? Berapa banyak yang sanggup mengganti lampin ibunya ketika ibu menjadi tua? Berapa banyak yang sanggup membersihkan kotoran ibunya? Berapa banyak yang  sanggup membuang ulat dan membersihkan luka kudis ibunya? Berapa banyak yang sanggup berhenti bekerja untuk  menjaga ibunya? Dan akhir sekali: Berapa banyak yang memanggul jenazah ibunya? Kalau ibu sudah tiada, kita hanya sanggup berkata “Ibu, aku rindu, aku sangat rindu, aku ingin berada dalam peluk hangatmu!”

Tak perlu kita menggeliat, berjalan jauh mencari, memburu  cinta sejati, karena cinta sejati itu ada di dekatmu, cinta sejati itu, ibu!

Perhentian kelima: Yesus Ditolong Simon dari Kirene



Dalam perjalanan luka-Nya, Ia terhuyung memikul beban salib pada pundak-Nya. Hati-Nya cemas tak sanggup tuntas berjalan menuju bukit tengkorak. Dalam kecemasan-Nya, Bapa menggerakkan hati seorang dari antara manusia-manusia pendosa untuk membantu memanggul salib-Nya ke Golgota. 

Adalah Simon yang berasal dari Kirene mengikuti perjalanan Anak Manusia memanggul salib menuju Golgota. Perjalanan yang mungkin jika ditempuh dalam kondisi tubuh normal tak akan seberat ketika dijalani oleh tubuh dengan luka meluruh, dengan darah yang mengucur basah, dengan perih yang teramat pedih. Yesus yang sekujur tubuh-Nya telah dipenuhi luka sesah para algojo hampir roboh ketika itu. Bapa lantas menggerakkan hati  seorang dari antara mereka, nama Simon dari Kirene yang dipilih-Nya menjadi salah satu yang memenuhi kitab dalam kisah perjalanan sengsara.

Dalam hidup seringkali kita berkeluh kesah “Ya Tuhan, mengapa harus aku yang menjalani kisah ini, nasib ini, derita ini. Mengapa bukan orang lain saja yang Kaupilih untuk Kau coba?!” mungkin saja Simon dari Kirene yang juga adalah manusia biasa saat itu memiliki pemikiran serupa dengan kita saat dipilih Tuhan dalam menjalani pencobaan kehidupan, namun, yang terjadi ribuan tahun kemudian, nama Simon dari Kirene memenuhi kitab dalam perjanjian. Kita manusia biasa, hidup kita hanya mengenal untung dan malang, suka dan duka. Kita sering alpa pada maksud di balik segala apa yang mejadi penyelenggaraan-Nya. Dia memilih sekaligus memberikan masing-masing kisah dalam setiap hidup manusia bukan tanpa tujuan, pun dengan segala bumbu dan rahasia hidup yang jika saja kita menyadarinya akan berubah menjadi  jalan menuju bahagia.  Masih layakkah kita bertanya, Tuhan, mengapa harus aku yang menjadi pilihan-Mu?

Perhentian keenam: Wajah Yesus Diusap oleh Veronika



Mahkota duri yang dikenakan pada kepala-Nya membuat  wajah-Nya  bersimbah darah. Ia tak lagi tampan, semarak-Nya pun hilang. 

Dalam langkah gontai-Nya memanggul salib agung, di hadapan-Nya lantas bersujud seorang perempuan lembut penuh kasih, Veronika. Awalnya Veronika berniat memberikan air pelepas dahaga bagi Putra Bapa, namun para algojo menepis cawan yang digenggam Veronika, tinggallah kain berada di tangannya, dengan segala cinta dan sisa keberanian yang ada, Veronika mengusap wajah Yesus yang telah dipenuhi peluh  dan darah. Sebagai balasannya, Yesus meninggalkan lukisan wajah-Nya di kain yang dibawa oleh Veronika.

Pernahkah dalam hidup di zaman yang serba tega ini kita memiliki sejumput keberanian untuk membantu sesama seperti Veronika? Jika pun ada, pernahkah kita berpikir bahwa yang kita lakukan itu tanpa tendensi apa-apa? Kebanyakan dari kita memilih bersikap acuh terhadap apa yang dialami sesama, atau minimal memiliki tendensi pada setiap apa yang kita perbuat untuk sesama. Mungkin demi dikenal, mungkin demi mendapat balasan, mungkin kita berharap satu ketika kita pun akan diperlakukan serupa seperti orang yang telah menerima bantuan dari kita. Lupakah kita pada hukum cinta kasih yang diajarkan Bapa melalui Dia yang adalah jalan kebenaran dan hidup.  Ingatlah bahwa Dia pernah berpesan, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang hina ini, kamu telah melakukannya untuk-Ku.”  Maka dari itu perbuatlah segala kebaikan karna kau melihat rupa Allah dalam diri sesamamu.  

Perhentian ketujuh:  Yesus Jatuh Kedua Kali


Perjalanan semakin menapak, tubuhnya semakin layu. Dalam batas kekuatan-Nya sebagai manusia,Ia hampir tak berdaya.

Betapa berat salib kasar dan besar yang masih setia menjadi beban pundak-Nya. Tubuh-Nya semakin layu, ia dihinggapi keletihan dan kesakitan yang amat sangat. Ia kehilangan satu per satu suara-suara penyemangat. Ia sampai pada batas kekuatan-Nya, tubuh-Nya yang dipenuhi luka roboh untuk kedua kalinya. Ketika jatuh pun salib itu setia menindih-Nya. Tiada ada lagi manusia membantu mengangkat kayu salib agung dari atas tubuh-Nya. Disertai bakti-Nya pada Bapa, ia bangkit meneruskan perjalanan  sengsara-Nya.

Dalam metamorfosa hidup, fase kedua manusia setelah kanak-kanak adalah menjadi dewasa. Segala problematika hidup manusia seolah berkumpul padu pada masa itu. Banyak manusia gagal menjadi dewasa dalam hidupnya. Mengalami kajatuhan, keterpurukan, kekacauan, kehancuran. Betapa dalam kisah sengsara-Nya, Yesus yang telah remuk redam disesah luka menganga dan darah yang mengalir begitu rupa  masih berusaha bangkit untuk meneruskan perjalan-Nya memenuhi janji pada Bapa. Haruskah kita yang hanya manusia biasa dangan beban hidup yang juga tergolong biasa lantas menyerah begitu saja pada cobaan yang menghampiri kita? Dalam iman Katolik, kita pun ditempa dalam perjalanan sengsara dalam memenuhi janji kodrat kehidupan  kita pada Bapa.


Perhentian kedelapan: Yesus Menghibur Wanita-wanita yang Menangis



Ia berhenti di hadapan wanita-wanita yang meratapi kisah sengsara-Nya.

Ujung perjalanan belum tampak di hadapan. Ia masih setia memanggul salib kasar dan besar itu di pundak-Nya. Di tengah gontai langkah-Nya, ia menemukan sekumpulan wanita yang menangis meratapi perjalanan sengsara-Nya. Ia lantas berhenti  dan menatap wanita-wanita itu. Dengan sisa-sisa kekuatan yang ada pada tubuh-Nya, ia berupaya menenangkan wanita-wanita itu. Betapa agung jiwa-Nya. Di tengah penderitaan yang ditimpakan pada-Nya,  mental-Nya tak roboh total. 

Betapa Tuhan memberikan teladan bagi kita. Dalam segala derita yang dirasakan-Nya, Dia tak lantas egois, Dia tak lantas terpuruk, Dia malah menjadi sumber penghiburan bagi hati-hati yang tengah dilanda kerawanan. Ya Tuhan, betapa dalam kehidupan kami sehari-hari kami lebih sering menganggap bahwa dengan kondisi yang kesulitan kami hadapi, kami tak memiliki kesempatan dan kekuatan untuk menguatkan orang lain. Betapa egoisnya kami sebagai manusia-manusia pendosa. 
Permampukan kami, Tuhan untuk menjadi garam dan terang dunia, seturut teladan Tuhan kami Yesus Kristus.

Perhentian kesembilan: Yesus Jatuh Ketiga Kali




Golgota di depan mata, kekuatan hampir habis, kesanggupan berjalan semakin menipis. Anak Domba Allah, jatuh untuk ketiga kalinya.

Matahari semakin tinggi, sinarnya menyengat terik membakar peluh dari semangat yang semakin runtuh. Janji-Nya pada Bapa tak hendak dikhianati-Nya. Dengan tenaga yang tersisa, diseret-Nya langkah kaki-Nya. Namun beban terlampau berat, tubuh-Nya pun tak lagi sanggup menahan sakit dan penat. Ia roboh untuk ketiga kalinya.  

Fase hidup yang ketiga, menjadi tua dengan tubuh yang semakin renta. Ketika Yesus dalam perjalanan sengsara mengalami jatuh kali ke tiga, betapa dalam hal ini Bapa mengingatkan kita dalam tujuan hidup kita ke arah kekal, seringkali kita pun mengalami jatuh di masa tua. Bukanlah kegagalan di masa muda penyebabnya, namun sikap hidup kita yang acapkali merasa sudah renta, tak lagi berguna bagi sesama dan gereja, padahal  justru ketika usia kita semakin menapaki senja, kita semakin berpeluang besar berbuat banyak hal bagi sesama. Tubuh renta bukan alasan, usia senja tak menjadi sekat dalam pengasingan diri menebar kasih pada sesama.

    
Perhentian kesepuluh: Pakaian Yesus Ditanggalkan




Maka genaplah yang tertulis dalam kitab suci setelah pakaian-Nya ditanggalkan, “Mereka membagi-bagi pakaianKu di antara mereka dan mereka membuang undi atas jubah-Ku.”

Tiada lagi yang bersisa dari Anak Domba Allah, kekuatannya habis, kehormatan-Nya di hadapan manusia-manusia pendosa habis-habisan dikikis. Bahkan untuk pakaian penutup tubuh-Nya pun telah mereka rampas. “Mereka mengambil  pakaian-Nya lalu membaginya menjadi empat bagian untuk tiap-tiap prajurit satu bagian - dan jubah-Nya juga mereka ambil. Jubah itu tidak berjahit, dari atas ke bawah hanya satu tenunan saja. Karena itu mereka berkata seorang kepada yang lain: “Janganlah kita membaginya menjadi beberapa potong, tetapi baiklah kita membuang undi untuk menentukan siapa yang mendapatkannya.”

Sekali lagi Allah Bapa menegur kita melalui perantara putera-Nya dalam rentetan kejadian di kisah sengsara. Anak Domba bungkam meski pakaian-Nya ditanggalkan, pakaian penutup tubuh yang menjadi dasar kehormatan seorang manusia. Ia dihinakan di hadapan manusia-manusia pendosa meski Ia tiada bercacat, cela dan dosa. Seringkali dalam kehidupan kita pun mengalami hal serupa, ketika kita merasa kehormatan kita sebagai manusia diinjak-injak, kita dengan sekuat tenaga melawan, mencari keadilan atau  lebih dari itu, ketika kita berperan ibarat serdadu yang menanggalkan pakaian serta kehormatan sesama kita. Kita seringkali berlaku culas dan gembira atas kehinaan sesama kita. Di manakah hati nurani berada? Masih pantaskah kita bergembira di atas kehinaan sesama kita?  


Perhentian kesebelas: Yesus Disalibkan


Ia menuntaskan perjalanan-Nya memanggul salib menuju  Golgota. Salib kasar tanda dosa besar, Ia dibaringkan di situ, kemudian paku besar  ditumbukkan dengan martil tanpa ampun menembus telapak tangan dan kaki-Nya, darah mengucur deras, mengalir pada salib. Ia disalibkan di antara orang berdosa, dan pada salib-Nya tertulis: “ Yesus Orang Nazaret, Raja Orang Yahudi.”

Dalam diri-Nya yang berwujud  manusia biasa, penderitaan yang ditimpakan pada-Nya melebihi ambang batas kekuatan normal manusia. Ia diperlakukan dan dihukum seperti seorang penjahat tak terampuni namun segalanya tetap Ia jalani. Tubuh-Nya dipaksa mangangkat salib yang akhirnya digunakan untuk merenggut nyawa-Nya sendiri. Dalam kepasrahan yang luar biasa Dia memenuhi janji pada Bapa-Nya, Dia mengorbankan tubuh dan darah-Nya untuk menjadi  materai keselamatan umat manusia yang mengimani-Nya. 

Ia hidup sebagai manusia biasa, namun bedanya Ia tidak berdosa, tidak bercacat cela. Ia menerima perlakuan tak adil dari manusia-manusia pendosa, namun Ia bungkam. Ia membiarkan cawan yang diberikan Bapa, tak berlalu dari hadapan-Nya. Yesus memberikan teladan bagi kita untuk menuntaskan segala apa yang telah dipercayakan kepada kita untuk kita selesaikan.  Mengerjakan dan memberikan segenap cinta dan penuh kasih pada apa yang menjadi tanggung jawab pribadi kita. Iman Katolik mengajarkan ketaatan pada tanggung jawab yang penuh cinta kasih. 


Perhentian kedua belas: Yesus Wafat di Kayu Salib




Ketika itu hari sudah kira-kira jam dua belas, lalu kegelapan meliputi seluruh daerah itu sampai jam tiga, sebab matahari tidak bersinar. Gempa bumi terjadi di mana-mana, dan tabir bait suci terbelah dua.  

“Sesudah itu, Yesus tahu, bahwa segala sesuatu telah selesai, berkatalah Ia - supaya genaplah yang tertulis dalam Kitab Suci - ; “Aku haus!” Di situ ada suatu bekas penuh anggur asam. Maka mereka mencucukkan bunga karang, yang telah dicelupkan dalam anggur asam, pada sebatang hisop lalu mengunjukkannya ke mulut Yesus. Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu , Kuserahkan nyawa-Ku” Lalu ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya.”

Ia anak Allah, Ia manusia tanpa dosa, Ia memegang teguh janji-Nya pada Bapa meski  sebagai manusia Ia sempat merasakan kegentaran saat mengetahui isi cawan yang dihadirkan Bapa di hadapan-Nya. Ia taat sampai wafat, bahkan wafat disalib. Sekali lagi, dalam wujud manusia, putera Bapa mengajarkan pada kita tentang ketaatan dan penerimaan demi kemuliaan hidup yang kekal.  


Perhentian ketiga belas: Yesus Diturunkan dari Salib



“Ia telah mati, mereka tidak mematahkan kaki-Nya, tetapi seorang dari antara prajurit itu menikam lambung-Nya dengan tombak, dan  segera mengalir keluar darah dan air. Sesudah itu Yusuf dari Arimatea - ia murid Yesus, tetapi sembunyi-sembunyi karena takut kepada orang-orang Yahudi  - meminta kepada Pilatus, supaya ia diperbolehkan menurunkan mayat Yesus.”

Malam menjelang, Maria bersama beberapa wanita dan murid kesayangan Yesus dibantu oleh Yusuf dari Arimatea menurunkan tubuh Yesus yang tak lagi bernyawa. Maria berada di bawah kayu salib, menyambut jenazah sang putera. Betapa hancur dan remuk redam hatinya. Putera kesayangan, yang dikandungnya, yang dibesarkannya, yang dikasihinya dengan segenap kekuatan yang dimilikinya diperlakukan tak adil, dihukum mati dan disalibkan. 

Hingga jenazah diturunkan dan kembali ke dalam pelukan ibu-Nya banyak hal menjadi teladan bagi kita. Kepasrahan dan ketaatan yang terkadang rasa sakitnya melebihi kekuatan yang kita punya sebagai manusia. Namun tetaplah berpegang pada janji Tuhan, janji akan keselamatan dan kehidupan kekal, janji yang tak akan pernah Ia ingkari. 

Perhentian keempat belas: Yesus Dimakamkan



Mereka mengambil mayat Yesus, mengafaninya dengan kain lenan dan membubuhinya dengan rempah-rempah menurut adat orang Yahudi bila menguburkan mayat. Di tempat di mana Yesus disalibkan ada suatu taman dan dalam taman itu ada suatu kubur baru yang di dalamnya belum pernah dimakamkan seseorang. 

Genaplah yang tertulis dalam kitab suci, makam-Nya berada di tengah -tengah makam orang berdosa. Tubuh-Nya yang rusak karna disesah para serdadu dan algojo telah dibersihkan dan diurapi rempah-rempah sesuai adat Yahudi. 

Penderitaan-Nya di dunia telah usai, Ia kembali pada Bapa-Nya, Ia kembali pada pemilik-Nya. Namun tetap dengan satu janji keselamatandan kehidupan kekal bagi umat yang mengimani-Nya. Dialah jalan kebenaran dan hidup, Dialah garam dan terang dunia, tiada yang sampai kepada Bapa tanpa melalui Dia. Dialah awal dan akhir, Alpa dan Omega. Masihkah kita mengingkari-Nya? (Hes) 




19 Mar 2016

MITOS VALENTINE’S DAY PENGORBANAN CINTA SUCI VALENTINE

MITOS VALENTINE’S DAYPENGORBANAN CINTA SUCI VALENTINE


Google Images.Jpg


Valentine’s Day konon berasal dari kisah hidup seorang Santo (orang suci dalam Katolik) yang bernama Valentine. Valentine adalah seorang Pastor yang hidup pada abad ketiga di Roma. Pada waktu itu, Roma dipimpin oleh Kaisar Cladius II. Kaisar tersebut terkenal sangat kejam dan  Ia berambisi agar kerajaan Romawi terus berjaya. Kaisar Cladius II membutuhkan bala tentara yang kuat, kokoh dan terampil tak terkalahkan. Menurut mitos, Kaisar mewajibkan para pemuda yang masih suci (belum pernah menikah) untuk masuk ke dalam pasukan bala tentara tersebut. Maka, Sang Kaisar melarang kepada semua pemuda di Roma untuk tidak menjalin hubungan dan menikah dengan wanita.

Keputusan Sang Kaisar di mana setiap titahnya merupakan hukum yang sama sekali tidak boleh ditawar-tawar sehingga menggegerkan rakyatnya. Banyak yang sesungguhnya menolak hal ini, namun mereka tidak berani untuk menentangnya secara terang-terangan. Karena setiap yang melanggar titah Sang Kaisar taruhannya teramat mahal: nyawanya sendiri.

Namun di luar kelaziman pada zaman itu, Santo Valentine diam-diam menentang keputusan Kaisar Claudius dan menyebutnya sebagai hal yang tidak manusiawi. Secara diam-diam, tokoh gereja ini tetap menikahkan pasangan muda yang saling mencintai. Aksi ini diketahui Kaisar yang segera memberikannya peringatan, namun Ia bergeming dan tetap memberkati pernikahan dalam sebuah kapel kecil yang diterangi cahaya lilin, tanpa bunga dan tanpa kidung pernikahan.

Hingga suatu malam, Ia tertangkap basah memberkati pernikahan sepasang insan. Pasangan itu berhasil melarikan diri, namun malang ia tertangkap. Ia dijebloskan ke dalam penjara dan divonis hukuman penggal. Bukannya dihina, ia malah dikunjungi banyak orang yang mendukung pengorbanannya menyatukan cinta kedua insan di dalam janji suci pernikahan kudus di hadapan Tuhan.

Mereka yang mendukung aksinya banyak mengirim bunga dan pesan berisi dukungan di jendela penjara. Salah seorang yang percaya pada kekuatan cinta itu adalah seorang putri penjaga penjara. Sang ayah mengizinkannya untuk mengunjungi Santo Valentine di dalam penjara. Tak jarang mereka berbicara selama berjam-jam. Gadis itu menumbuhkan semangat dan kekuatan bagi Santo Valentine bahwa apa yang dilakukannya adalah hal yang benar, suatu tindakan yang membela kebenaran dan keadilan. 

Pada hari saat ia dipenggal “14 Februari” Ia menyempatkan diri menuliskan sebuah pesan teruntuk sahabatnya putri penjaga penjara atas perhatian, dukungan dan bantuannya selama di penjara. Di akhir pesan itu Ia menuliskan “Dengan Cinta, dari Valentine-mu” 

Cerita ini menjadi salah satu mitos yang paling dikenang, hingga pada 14 Februari 496 M Paus Gelasius meresmikan hari itu sebagai hari untuk memperingati Santo Valentine (The World Book Encyclopedia 1998). Walau demikian, Paus Gelasius sendiri mengakui bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui secara pasti mengenai martir-martir ini. Namun Gelasius tetap menyatakan tanggal 14 Februari tiap tahun sebagai hari raya peringatan Santo Valentine (Valentinus). 

Hari Valentine yang oleh Paus Gelasius dimasukkan dalam kalender perayaan gereja, pada tahun 1969 dihapus dari kalender gereja dan dinyatakan sama sekali tidak memiliki asal-muasal yang jelas. Sebab itu Gereja melarang Valentine’s Day dirayakan oleh umatnya. Walau demikian, larangan ini tidak ampuh dan Valentine’s Day masih saja diperingati oleh banyak orang di dunia hingga sekarang.

Hari Valentine ini diharapkan kepada kita umat Katolik untuk meneladani karya iman Santo Valentine akan cinta agape (cinta yang tulus, benar-benar suci, tidak berpamrih dan sarat akan pengorbanan). Cinta agape merupakan cinta yang secara total kepada sesama yang kerap identik dengan cinta Tuhan kepada ciptaan-Nya. Kutipan ayat emas yang akan menuntun dan menjiwai hidup kita dalam mencintai layaknya cinta kasih Tuhan tanpa batas yang murah hati dalam mengasihi manusia  :

1 Kor 13 : 1 -7 : Kasih itu sabar, kasih itu murah hati, ia tidak cemburu. Ia tidak memegahkan diri dan tidak sombong. Ia tidak melakukan yang tidak sopan dan tidak mencari keuntungan diri sendiri. Ia tidak pemarah   dan tidak menyimpan kesalahan orang lain. Ia tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Ia menutupi segala sesuatu, percaya segala sesuatu, mengharapkan segala sesuatu, sabar menanggung segala sesuatu. 
Marilah kita menumbuhkan bunga cinta kasih Tuhan di dalam hati serta memberikannya kepada sesama. 

Selamat merayakan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day). Banyak cinta kasih dalam hidup kita semua. (SHe)

(Disadur kembali dari sumber : wikipedia dan 1001 kisah teladan.com)

Google Images.Jpg


PELANGI NATAL DI STASI-STASI

PELANGI NATAL DI STASI-STASI


Google Images.Jpg

“Misa Natal di stasi tadi pagi sangat meriah. Hampir semua umat yang hadir di kapel ikut bernyanyi. Meskipun lagunya salah, tapi gak papa karena umat terlibat aktif dalam perayaan Misa”. Begitulah kesan seorang teman pastor di meja makan menanggapi perayaan natal di salah satu stasi. Sambil menganggukkan kepala, saya mengamin-i apa yang dikatakan pastor tersebut. Kesan yang kurang lebih sama juga saya alami dan juga dialami oleh teman-teman yang melayani perayaan natal di stasi-stasi. Intinya perayaan Natal tahun 2015 ini sangat meriah dan berwarna-warni. 

Dari Pohon Natal Daur Ulang sampai pada Pesta Rakyat

Pernak-pernik Natal tahun 2015 ini sungguh menghiasi pesta Natal di beberapa stasi di wilayah Paroki Singkawang. Berbagai kreasi unik dan menarik memberikan warna tersendiri dalam memeriahkan pesta kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Harus diakui dibandingkan tahun lalu, perayaan Natal tahun ini lebih berwarna-warni.

Sekedar menyebut Stasi Medang misalnya. Mereka menampilkan kreasinya yang unik dengan membuat Pohon Natal berbahan dasar daur ulang. Seolah mau mengampanyekan pesan go green, mereka memanfaatkan bekas gelas dari minuman air mineral. “Kami telah mengumpulkan gelas-gelas ini sejak tahun lalu”, ungkap penggagasnya dengan bangga. Ratusan gelas plastik yang hampir tak ada nilainya itu disulap sedemikian rupa dan dijelmakan dalam sebuah pohon natal yang menjulang tinggi hampir 4 meter. Pohon natal yang berbahan murah itu dipajang di halaman kapel Stasi Medang lengkap dengan lampu kelap-kelipnya. Di malam hari cahaya lampu yang memancar dari pohon natal itu membuat suasana terasa syahdu. Siapa sangka pohon natal itu berasal dari bahan daur ulang gelas plastik.

Lain Stasi Medang lain lagi Stasi Sarangan. Masih soal pohon Natal yang tidak kalah menariknya. Para OMK yang didaulat menjadi panitia Natal memanfaatkan daun pohon resam (dalam bahasa daerah mereka menyebutnya sebagai daun taboyo) untuk membuat pohon natal. Dalam keseharian daun resam ini hampir tidak pernah diketahui apa kegunaannya. Namun di tangan orang muda yang kreatif, daun resam ini ditata sedemikian rupa hingga menyerupai pohon natal dan dihias dengan lampu natal. Pohon natal kreasi OMK Sarangan tak kalah indahnya dengan pohon natal yang dijual di toko-toko. Bahannya sangat murah. Tetapi tetap meriah.

Selain pohon natal, tak kalah serunya adalah pesta rakyat yang digelar selesai misa Natal. Rupanya acara ini sudah mentradisi dan harus dirayakan untuk beberapa stasi. “Rasanya belum merayakan Natal kalau tidak ada pesta rakyat”. Begitu komentar seorang umat. Pesta rakyat yang dimaksud adalah berbagai jenis lomba, mirip seperti pada perayaan 17 Agustus. Stasi Setanduk menjadi salah satu stasi yang selalu rutin mengadakan perlombaan ini untuk kaum ibu, bapak, orang muda dan anak-anak. Lama sebelum Natal telah dibentuk panitia untuk menganimasi kegiatan ini. Dengan dana apa adanya, hasil pengumpulan dari umat, pesta rakyat pun digelar seusai Misa Natal. Teras gereja disulap menjadi panggung utama dan dari sanalah pesta rakyat dimulai dengan menampilkan pertunjukan dari anak-anak. Selesai panggung hiburan, pesta rakyat pun dimulai. Umat yang hadir tumpah ruah di halaman gereja mengikuti perlombaan yang digelar. 

Umat Stasi Parit Baru merayakan pesta Natal dengan cara mereka sendiri. Mereka lebih memberi perhatian pada Anak-Anak Sekolah Minggu. Begitu misa Natal selesai dirayakan, panitia langsung mengubah bagian depan altar sebagai tempat pertunjukan. Ada tarian, ada nyanyian dan juga fashion show. Semua mata acara diisi oleh anak-anak yang benar-benar menikmati pesta natal. Ibarat peragawati yang berjalan di atas catwalk, begitulah anak-anak berlenggak-lenggok, memamerkan gerak dan busana yang dipakainya.

Lomba Paduan Suara Lagu Natal

Ide untuk merayakan natal bersama dengan umat stasi-stasi dicetuskan pada pesta natal tahun 2014 yang lalu. Adalah panitia Natal Paroki yang mengemas acara supaya ada suasana kekeluargaan di antara umat di kota dan stasi. Maka mulai digagas perlombaan koor sebagai sarananya. Karena jumlah stasi cukup banyak dan terpencar-pencar, maka diadakan dua kali perlombaan koor untuk stasi yang ada di wilayah Kotamadya Singkawang dan stasi yang ada di wilayah Kabupaten Bengkayang.

Di luar dugaan tanggapan umat stasi sangat antusias. Tahun ini menjadi gelaran kedua dengan berbagai penyempurnaan. Meskipun belum semua stasi bisa berperan serta, tetapi tetap ada wakil dari stasi yang hadir sebagai umat dan ikut memeriahkan. “Tahun depan kami pasti ikut sebagai peserta lomba koor. Mohon kepada panitia di paroki supaya mempersiapkan jauh-jauh hari supaya kami bisa mempersiapkan diri,” harap salah seorang umat stasi yang belum bisa ikut lomba.

Kehadiran peserta koor dengan seragam batik menambah semaraknya suasana natal di dua stasi sebagai tempat pangkalan; stasi Roban untuk wilayah stasi Kotamadya Singkawang dan Stasi Capkala untuk wilayah stasi Kabupaten Bengkayang. Suasana kekeluargaan sungguh terasa manakala umat yang hadir betul-betul menyatu. Tidak ada sekat antara satu dengan yang lainnya. Paduan suara rupanya menjadi alat pemersatu di antara umat stasi.

Pelangi di langit nampak indah karena berwarna-warni. Begitu juga pesta Natal 2015 di Stasi-Stasi terasa indah dan semarak karena diisi dengan berbagai acara yang unik dan menarik. Perayaan itu terasa makin indah karena dijiwai oleh kesederhanaan. Tak ada kesan pesta pora di dalamnya. Bukankah Tuhan Yesus juga lahir dalam kesederhanaan? Tetap indah, walaupun tidak mewah. (Gathot)

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia

Ia di Antara Biola, Kamera dan Komuni untuk Lansia


“Tahun-tahun yang memutih di kepala menandai tinggi batang usia kiranya bukan penghalang baginya yang sering terlihat masyuk dengan kamera. Di umur rambang senja, ia bahkan menjadi daya tarik tersendiri mengingat sosok lain yang seusia umumnya tak lagi menggubris perkembangan teknologi yang setia bergulir di dunia.”



Pastor Marius, OFMCap, gembala yang selalu tampil formal, berkemeja lengan panjang, dimasukkan rapi, bersemat salib kecil di kerah kiri, dan selalu beralas kaki hitam ini bukan sosok asing di lingkungan Gereja Katolik Santo Fransiskus Assisi. Putra kelima dari pasangan bapak Mateus Chen dan ibu Yohana Lay ini begitu tak terganggu manakala ratusan pasang mata memandang aksinya kala mengabadikan berbagai peristiwa yang berlangsung di gereja maupun hal lain yang sanggup menarik perhatiannya. Meskipun bersifat pribadi, betapa aktivitasnya sangat membantu gereja dalam mengabadikan setiap rangka masa. Entah telah menghabiskan berapa giga bahkan tera kapasitas hardisk guna membingkai laman waktu dalam gambar bergerak maupun slide-slide bisu. Tak berhenti sampai di situ, suaranya terdengar begitu ringan menandakan sama sekali tiada berkeberatan ketika hasil bidikan kameranya diunduh orang guna memenuhi berbagai kepentingan. 

Terlahir dengan nama Chen, semenjak kecil ia telah begitu terpesona pada kehidupan membiara. Chen kecil yang menunjukkan ketertarikannya pada kaum berjubah menggiring langkah remajanya menekuni panggilan iman hingga ke Holand. Pada 1947, dua tahun setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya, ia telah melanglang buana ke negeri Belanda. Zaman dulu menempuh pendidikan menjadi imam kesempatannya tidak seluas sekarang. Ia harus berjibaku dengan teologi dan filsafat ilmu hingga ditahbiskan sebagai imam di negeri kembang tulip itu pada 1961. 

Empat belas tahun di benua Eropa, begitu banyak hal dipelajarinya. Selain kian mematangkan pendidikannya menjadi gembala, ia mulai akrab dengan biola. Secara otodidak ia mempelajari cara memainkan alat musik yang tak sekadar menggesek dawai belaka, namun juga mengandalkan kehalusan jiwa untuk mampu sampai ke hati penikmatnya. Kepiawaiannya mengalunkan nada melalui biola bak gayung bersambut manakala ia kembali ke negeri asalnya. Sempat menggembala umat selama setahun di Nyarumkop pada 1962 sebelum akhirnya di tahun  1963 ia kembali berkarya di Katedral, di jantung Khatulistiwa. 

Pada tarikh 1963−1997 penempatan tugas pastoral membuatnya mengabdikan diri di Gembala Baik. Di sinilah ia berkolaborasi dengan ketua Yayasan Persekolahan Gembala Baik yang sepaham dengannya mengenai pembelajaran ekstra bagi siswa. Ia seiya sekata dengan Bapak Yan Fredrik yang menggagas mengenai pembelajaran biola untuk menghaluskan jiwa para peserta didiknya. Dengan telaten dan sabar, ia menularkan kebisaannya memainkan biola pada siswa-siswinya. “Pak Yan mewariskan satu hal tidak diduga, ia mengajar musik terutama biola kepada murid karena ia mau muda-mudi kita tetap peka terhadap sesuatu yang indah. Contohnya jika ada berita orang yang mengalami musibah di sekitar kita dan kita melihatnya sebagai sesuatu yang biasa, hal ini terjadi karena tidak ada kepekaan terhadap yang indah. Mulanya saya tidak mengerti, tetapi akhirnya saya memahami dan sesuatu yang paling indah adalah yang dilakukan oleh Yesus di kayu salib, wafat bagi orang lain. Hal ini dapat terjadi karena jiwa yang peka. Karena sesuatu yang indah dapat memengaruhi kepekaan sikap jiwa. Sehingga dia merasa indah juga bisa menolong orang, malahan bila perlu berkorban untuk orang lain. Saya ambil warisan itu. Saya melanjutkan itu. Biarlah kelihatan atau tidak, berhasil atau tidak, tapi pasti tidak rugi jikalau dari anak-anak itu masih dapat kesempatan untuk mematangkan rasa mereka terhadap keindahan. Karena otomatis akan mempengaruhi mereka punya jiwa,” urainya. Hingga usianya hampir menginjak 87 tahun, ia tetap setia melatih bermain biola. Dan satu hal yang sungguh luar biasa, ia melatih tanpa memungut sepeserpun biaya dari para didikannya. “Saya melanjutkan semua itu bukan sebagai hobi saja, tapi dengan harapan dasar supaya muda mudi kita menyebarkan keindahan yang mereka rasa, yang secara otomatis meningkatkan sikap jiwanya.” 

Hal unik lain dari sosoknya, di tahun 1947 dimana bangsa ini baru mengecap haru biru hawa kemerdekaan bahkan mungkin saja masih latah terhadap perputaran zaman, ia telah selangkah lebih maju. Ia akrab dan paham dengan peralatan media rekam. Sungguh berada di luar duga bahwa ia memang mesra dengan kamera semenjak dulu kala. Di samping itu, ia juga memanfaatkan media sosial untuk berbagi banyak hal yang direkamnya. Bukan tanpa maksud, namun  aktivitas tersebut berkiblat pada manfaat berbagi dan menarik esensi dari berbagai hal baik yang sanggup menginspirasi. “Ya memang hobi, dengan arti, itu adalah media yang bisa menyampaikan sesuatu. Hasil rekamnan saya banyak simpan di Facebook dan Youtube. Dari yang dibagikan di Facebook dapat dibaca juga notes berisi keterangan di bawahnya. Di situ saya banyak menulis hasil-hasil pembicaraan, menjawab pertanyaan orang tentang berbagai hal, tentang perkawinan, tentang hidup, tentang kematian.” Ia tak gagap teknologi, bahkan sukses memanfaatkannya menjadi media untuk menggembala umatnya. 

Usianya memang tak lagi muda, namun ia tampak tak pernah menyerah begitu saja pada deret angka penanda masa hidup manusia. Ia masih selalu bersemangat melakukan berbagai aktivitasnya sendiri. Menyetir, bersepeda, berjalan kemana pun tugas gembala mengharuskan langkahnya berada, semua dijalaninya dengan suatu kesadaran bahwa kemandirian berdampak penuh terhadap kondisi kesehatan. Hingga kini, ia masih melayani, mengantar sendiri komuni suci bagi para lansia, baik di dalam maupun di luar kota. Jumlahnya pun tidak sedikit, terdapat dua putaran dalam hantaran yang totalnya berada di kisaran angka enampuluhan.
  
Meski menyadari sepenuhnya terhadap berbagai hal yang berpengaruh besar pada kesehatan, Pastor Marius bukan insan yang menyangkal kematian. Pernah dalam satu kurun waktu ia bolak-balik melewati jalan yang sama menuju kompleks pekuburan. Aktivitasnya itu disadari oleh seorang umat yang serta merta menanyakan alasannya. Dengan nada berkelakar ia mengungkap alasannya menjalani aktivitas yang tergolong tidak biasa itu dengan harapan ketika kematian menjemput, jiwanya bisa mandiri, berjalan sendiri karena sudah hafal jalan dari pastoran menuju kompleks pekuburan.

Pria yang terlahir pada 1 Agustus 1929 ini pernah mengalami mujizat dalam hidupnya. Dikisahkannya pada wawancara dengan tatapan bersungguh-sungguh pada tahun 2002 ia berada dalam perjalanan dari Pontianak menuju Singkawang. Kala itu di daerah Sungai Limau nasib tak mujur menghampirinya, ia terlibat dalam kecelakaan di jalan raya. Namun suatu hal yang benar-benar dirasanya adalah terdapat tangan seseorang yang memegangnya, menahannya agar tak terlalu kuat menghantam setir maupun dashboard mobil yang dikemudikannya. Saat kecelakaan terjadi ia bersama dengan dua orang lain yang duduk jauh di belakang setir yang dikendalikannya. Suatu kondisi dimana dua orang di belakangnya tidak mungkin melakukan hal yang dirasakannya sebagai ‘pegangan tangan seseorang’. Saat dievakuasi, tim medis yang menanganinya merasa tipis harapan nyawanya dapat diselamatkan mengingat kondisinya yang sangat memprihatinkan. Di luar dugaan, ketika Pastor Marius siuman dan satu hal yang langsung ia ingat saat itu ia harus memimpin misa berbahasa Tionghoa. Dengan kondisi luka dalam yang jika orang awam hanya bisa bertahan selama tiga jam, Pastor Marius merasa menerima sentuhan kekuatan hingga ia dapat bertahan selama delapan jam sebelum akhirnya mendapat perawatan lanjutan. Dalam kondisi itu ia menguatkan diri untuk pulang ke Singkawang. Tim medis di Singkawang hanya menggeleng-geleng takjub menyaksikan betapa mujizat Tuhan bekerja atas diri pastor ini. Usai merasakan kuasa keajaiban pada tahun 2002, Pastor Marius semakin meyakini segala keselamatan yang dialaminya tak lain karena campur tangan Bunda Maria. 

Hal lain yang juga menjadi kisah tersendiri dari diri pastor yang satu ini adalah dalam kurun masa tertentu, beliau pernah menggunakan peti mati sebagai fasilitas tidurnya. Tentunya hal ini menjadi kondisi tak biasa bagi orang kebanyakan yang secara general memandang segala hal yang berkaitan dengan kematian adalah sesuatu yang masih begitu menakutkan. Ya, pastor Marius memang sudah memesan sebuah peti kepada sahabatnya yang berprofesi sebagai pembuat peti demi kepentingannya sendiri di kemudian hari. Serta merta peti pesanannya dititipkan kepada si pembuat karena untuk membawa peti jenazah ke pastoran bukan hal yang mudah. Selain akan memakan banyak tempat, adalah tak lazim meletakkan peti dalam ruangan yang sebenarnya bukan tempatnya. Suatu waktu ketika sang sahabat pembuat peti berpulang ke penciptanya, peti jenazah pesanannya harus dibawanya ke kediamannya, ke pastoran. Ia lantas meletakkan peti pesanannya di dalam kamarnya dan menjadikannya sebagai tempat beristirahat. Ia tidur di dalam peti jenazah. Cukup lama keadaan itu dijalaninya hingga suatu ketika ia tak dapat bertahan lagi karena hawa panas yang menyelimuti ketika ia tidur di dalam peti. Suatu pengalaman jenaka yang tidak disangka terjadi atas dirinya. Meski kini peti itu tetap berada di kamarnya, kondisinya saat ini kokoh berdiri dan telah beralih fungsi menjadi almari. 

Pada akhirnya sekelumit kisah hidup yang terajut menjadi sisi lain bagi kita memandang sang gembala. Selamat berkarya, Pastor. Semoga selalu sehat dan dilindungi dalam setiap langkah. (Hes)      
NB: Bagi umat yang ingin berinteraksi dengan beliau dapat mengunjungi laman
Facebook: Mar Chen (Marius) dan Youtube: mari2chen.