Selamat Datang Di Website Resmi Paroki Singkawang - Terima Kasih Atas Kunjungan Anda

7 Jun 2017

Sejarah Doa Perlindungan ‘SATOR AREPO TENET OPERA ROTAS’

Sejarah Doa Perlindungan ‘SATOR AREPO TENET OPERA ROTAS’


Doa ini semacam palindrom (sebuah kata, frasa, angka maupun susunan lainnya yang dapat dibaca dengan sama baik dari depan maupun belakang). 

Kata ‘palindrom berasal dari bahasa Yunani: palin (‘balik’) dan dromos (‘pacuan kuda’).
Menurut buku Mother Tongue: English & How It Got That Way (hal. 227): “Palindrom berumur setidaknya 2.000 tahun."

Palindrom Latin Sator Arepo Tenet Opera Rotas sangat unik karena ia akan mengulang kalimatnya lagi jika kita membentuk kata dari huruf pertama setiap kata kemudian disambung dengan huruf kedua setiap kata, dan seterusnya. Karena itu ia juga dapat disusun dalam sebuah kotak yang dapat dibaca secara vertikal maupun horisontal:

Palindrom ada dalam banyak bahasa-bahasa Barat, terutamanya di bahasa Inggris. Meskipun begitu, gelar ‘bahasa palindrom’ jatuh pada bahasa Finlandia.
Selain itu, palindrom juga ada dalam bahasa-bahasa non-Barat, contohnya bahasa Jepang, bahasa Tionghoa dan bahasa Korea.

Lebih lanjut, doa ini mulai dikenal luas dengan berlatar belakang peristiwa Perang Dunia I, di mana terdapat seorang pemuda atheis yang mengikuti wajib militer sedang diliputi rasa takut yang luar biasa ketika ia akan diberangkatkan menuju medan perang. 

Di tengah gejolak rasa takutnya, ia bertemu dengan seorang pastor yang memberikan nasihat kepadanya agar ia tidak risau dan takut, seraya mengajarkan suatu doa singkat yang mudah untuk diingat dan dihafalkan apabila diucapkan secara berulang-ulang. Pastor tersebut berpesan kepada pemuda itu agar selalu melafalkan doa tersebut setiap saat dalam bahasa aslinya (Latin) supaya ia dapat selamat dari segala mara bahaya. 

Pemuda itu meyakini apa yang dinasehatkan oleh pastor tersebut serta mendoakannya berulang-ulang sekalipun tidak mengerti akan arti doa tersebut. Dalam suatu pertempuran yang besar, seluruh anggota pasukan pemuda tersebut gugur dalam pertempuran, namun hanya pemuda atheis itu sendiri yang selamat dari gempuran pasukan musuhnya. Karena doa ini, pemuda tersebut bertobat, dan menyebarkannya sebagai doa perlindungan.

Arti Doa
Sator: Bapa.
Arepo: Tempat perlindungan.
Tenet: Memelihara.
Opera: Mempersembahkan sepenuh hati.
Rotas: Nasib / Perputaran Hidup.
Apa makna dari doa tersebut?

 Dari pihak Tuhan, bermakna:
"Bapa tempat perlindunganku, yang memelihara hidupku dengan segenap hati-Nya"
Dari pihak manusia, bermakna:
"Aku mempersembahkan seluruh hidupku dengan sepenuh hatiku kepada Bapa yang menjadi tempat perlindunganku" 

Bagaimana cara menggunakan doa tersebut?
Doa ini adalah doa yang tak kunjung putus, karena doa ini dapat dibaca dari segala penjuru dengan makna yang sama (baca dari kanan ke kiri; atas ke bawah; kiri ke kanan; bawah ke atas).
Ini adalah doa sederhana yang mempunyai kekuatan besar. Doa ini biasanya diucapkan secara berulang-ulang/terus-menerus hingga dirasakan cukup (dapat diucapkan secara bersuara ataupun hanya bersuara dalam batin), melafalkan doa versi latin ataupun versi Indonesia, yang penting menyentuh kedalaman makna yang dipanjatkan kepada Tuhan. Doa ini juga boleh dilakukan dengan ataupun tanpa memegang medali doa atau salib di dada, maka Allah Bapa akan berperan serta secara penuh dalam hidup kita. (Disadur dari berbagai sumber (Google)


.

5 Jun 2017

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat

23 Tahun Imamat; 10 Tempat Menggembala Umat


Jika tak mengenal pribadinya, jika sekilas saja awam memandangnya, maka kesan pertama yang akan muncul darinya adalah sosok seorang pengusaha. Dengan kulit yang putih bersih dan tampilan demikian rapi rasanya tak berlebihan andaikata banyak yang terkecoh. 

Pribadinya dinamis, antusias, dan sangat cermat memperhatikan lawan bicara. Setidaknya itulah kesan yang saya tangkap manakala berhadapan dengan pria yang sudah menghayati kehidupan imamatnya selama 23 tahun. Siang itu di tengah riuhnya derai tawa dan canda para biarawan region Singkawang dan sekitarnya berkumpul di pastoran Singkawang, ia adalah salah seorang di antaranya. Saat itu saya sengaja singgah ke pastoran guna mengembalikan diska lepas pada pastor paroki yang beberapa hari sebelumnya diserahkan kepada saya guna menyetorkan artikel yang akan dimuat di buletin. Pada kesempatan itu juga saya sempat menanyakan pada pastor paroki siapa kiranya sosok yang akan dikupas profilnya pada buletin edisi yang akan datang. Entah mengapa, saya dan pastor paroki semacam tak sengaja bersepakat mengarahkan pandangan pada sosoknya. Ia yang siang itu mengenakan kemeja merah memang tampak mencolok di antara pastor-pastor lainnya. Serta merta pada kesempatan itu juga saya ‘melamar’ kesediaannya untuk menjadi sosok yang akan diangkat dalam Rubrik Sosok Likes edisi 13. Bukan tanpa alasan saya menyematkan kesan dinamis, antusias, dan cermat padanya, karena di siang itu juga ‘lamaran’ saya diterima dengan sangat terbuka, nada suara ringan, dan tak bertele-tele.

Temu janji dilakukan. Di tengah kesibukannya memimpin persekolahan ia tetap memberikan saya ruang dan kesempatan. Ketukan pada pintu saya daratkan. Tak lama, pintu dibukakan langsung oleh sosok yang saya tuju. Dengan ramah saya disilakan menuju ruang makan yang cukup teduh dan luas. Diiringi tembang-tembang rohani yang mengalun lembut, saya memulai pembicaraan.

Jujur ketika menghadapi beliau hampir semua daftar pertanyaan yang sudah saya susun sebelumnya menjadi berantakan. Pertanyaan-pertanyaan saya yang sungguh awam terhadap posisi beliau membuat wawancara sedikit mengalami kekacauan. Sepertinya beliau menangkap kebingungan saya, namun dengan kebijakan dan keramahtamahan beliau, obrolan tetap mengalir ringan.   

Terlahir di Ketori, 53 tahun silam tepatnya 20 April 1964, ia sulung dari tujuh bersaudara. Dengan penuh semangat dan bangga ia menuturkan bahwa ayahnya adalah seorang katekis yang banyak meng-Katolikkan orang dan seringkali memimpin ibadat pernikahan. Melalui jalan katekis itu juga yang membuatnya berdiri begitu rapat dan erat dengan panggilan imamat. Heri kecil tak dapat menyangkal keterpesonaannya terhadap jubah para imam yang ketika turne seringkali menginap di rumah orang tuanya. Baginya jubah yang dikenakan oleh para imam sangat sakral. Sungguh berbeda dan istimewa, tak semua awam bisa mengenakannya. Ada penggalan kenangan jenaka dituturkannya berkenaan dengan denyar panggilan imamat yang sejak usia dini sudah didengarnya, “Sejak kecil saya sudah sering bermain misa-misaan. Umatnya adik saya, pastornya saya. Lalu saya memakai pakaian ibu yang diandaikan sebagai jubah, dan irisan pisang sebagai hostinya,” ujarnya dengan sudut mata menyipit menandakan ada suatu dimensi waktu di masa lalu yang menyambangi ingatan dan perasaannya sekaligus menimbulkan efek bahagia ketika dikenang. 

Masih berkait dengan panggilannya sebagai imam, ia juga sempat menuturkan bahwasanya semasa masih berusia remaja nanggung ia berkuat hendak menempuh kehidupan sebagai gembala karena dalam angannya seorang imam tak perlu menempuh pendidikan yang melibatkan ilmu yang beragam, matematika dan lain sebagainya. Pendek kata ia berpikir bahwa untuk ditahbiskan menjadi pastor ilmu yang dikuasai hanya ilmu pastor. Tergelak saya mendengar kisah yang disampaikannya dan membuat saya berujar, “Padahal untuk menjadi pastor jauh lebih berat ya, minimal harus bergelut dengan filsafat yang begitu berat, dan teologi yang juga tidak bisa serta merta langsung dipahami.” 

Kisah lain yang tak kalah mewarnai keragu-raguannya dalam memulai langkah pastoral adalah pengalaman yang sempat menciutkan hatinya berkenaan dengan tarik suara. Terdengar agak ajaib memang jika Heri kecil sempat berpikir untuk mengurungkan niatnya menjadi imam karena ia merasa tak pandai menyanyi. Pengalaman ketika kecil memiliki dan berhadapan dengan pastor asal Swiss yang jago bernyanyi membuatnya berpikir untuk menjadi seorang pastor haruslah sosok yang pandai bernyanyi. Akhirnya semakin bertambah usia, pengetahuannya semakin terang benderang, bahwasanya pandai menyanyi bukanlah salah satu tuntutan untuk menjadi pastor.
 
Bicara soal penempatan tugasnya sebagai imam, pria berkacamata silinder ini bercerita banyak dan sangat runtut. Ia masih kuat mengingat berbagai kejadian monumental yang akhirnya membentuk jejak-jejak tak terlupakan dalam kenangan. Sekelumit kisah yang sebenarnya membekas bahkan mengundang traumatik ia tuturkan. Ibarat kata, lukanya memang sudah sembuh, namun bekasnya masih terasa bila diraba. Ya, beliau sempat beberapa waktu merasakan enggan ketika hendak dikirim pulang ke tempat awal menggembala usai ia ditahbiskan. Seperti yang disampaikannya ketika awal kehidupan menggembala ia ditempatkan di persekolahan Nyarumkop dan bertugas sebagai salah satu pengajar. Dalam kurun waktu singkat berbagai kejadian silih berganti menempa kematangan emosionalnya. Hal terberat yang menggusarkan mata batinnya adalah ketika sudah dengan sepenuh jiwa ia mengusahakan untuk berkarya, namun ada saja pihak yang tak membaca perjuangannya sebagai sesuatu daya yang bertujuan membentuk karakter anak menjadi lebih mulia. “Kita sudah memberikan waktu siang malam tetapi itu yang kira terima, umpatan, makian. Tapi saya menyadari bahwa itu semua adalah bagian dari pelayanan,” tegasnya. Ya, ia yang kini duduk di hadapan saya telah berhasil melewati masa-masa pendewasaan itu. Sesuai dengan kutipan Pram, “Bila akar dan batang sudah cukup kuat dan dewasa, dia akan dikuatkan oleh taufan dan badai.” (Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah)
 
Tercatat sepanjang karir kegembalaan, ia telah berpindah ke berbagai tempat pelayanan sebanyak sepuluh kali. Menyikapi hal itu pemilik nama lengkap Heribertus Samuel, OFMCap., ini selalu memegang prinsip di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. “Suasana tempat tugas di mana-mana pasti berbeda. Pertama dan menjadi kunci utama kita harus merasa at home. Harus cepat beradaptasi dengan pekerjaan dan lingkungan, dengan demikian kita dapat bekerja dengan baik. Sepuluh kali pindah saya tidak merasa terikat dengan satu tempat. Pindah ya pindah. Contoh ketika propinsial menelepon memindahkan saya. Tidak harus bertemu langsung tapi by phone, oh bisa  pindah ke mana saja ok.” Baginya hal yang bisa dipermudah tidak perlu dipersulit. “Pimpinan tentunya  sudah menimbang dan mendiskusikan kemanapun saya ditempatkan,” lanjutnya. Dalam batin saya menggumam, betapa patuh dan taatnya ia pada panggilan pelayanannya. Tak berhenti sampai di situ kekaguman saya menyeruak terhadap sosoknya karena di sela-sela obrolan kami, ia sempat menceritakan kesukaannya bercocok tanam dan memelihara hewan ternak. Rasanya tak terbayang jika sosok rapi dan bersih yang sedang duduk di hadapan saya bersedia membersihkan kandang dan berbagai jenis kotoran hewan. Namun itulah yang terjadi. Dari jagung hingga sayur, dari ayam sampai marmut tak lepas dari sentuhan tangan dinginnya. Baginya, menghayati bekerja adalah sebagai bagian dari hidup. “Homo laboran, salah satu identitas manusia. Jika manusia malas dia bukan manusia. Malas yang betul-betul malas, ya. Bagi saya segala pekerjaan adalah relatif. 

Dasarnya saya tidak memilih kerja. Dari memungut sampah, bersih-bersih lingkungan, berkebun, bakar sampah dan itu biasa saya lakukan, hampir setiap hari. Nanti sore penampilan saya akan lain. Saya bekerja memakai kaos, sepatu boot untuk berkebun, akan lain dengan yang sekarang,” paparnya. Saya berdecak. Sungguh, rasanya masih sulit membayangkan ia yang demikian rapi tiba-tiba harus bergelut dengan sampah atau mencangkul tanah.


Ketika iseng saya bertanya di mana tempat bertugas paling istimewa, maka dengan gamblang ia menuturkan bahwa semua tempat tugas baginya masing-masing memiliki keistimewaannya. “Jakarta tidak bisa disamakan dengan Pontianak, apalagi Nyarumkop. Untuk kenyamanan yang terpenting kita cepat merasa at home sehingga kita tidak lagi memikirkan yang sudah lewat. Ada kenyamanan dan sebagainya, itu kan ekstra, yang sudah lewat ya sudah di awang-awang, tempat tugas terbaru kita dan di mana kita berada saat ini adalah yang  real. Memang tidak selalu gampang ketika pindah, tapi ini perutusan dari kongergasi utk melayani. Karena itu saya selalu bersyukur diminta untuk bertugas sana-sini, membuat pengalaman kita lebih beragam. Setiap pengalaman relatif namun dasar pelayanan adalah prinsip ketaatan untuk gereja,” imbuhnya.
 
Meski ia berdarah asli tanah Borneo, namun putera dari almarhum Bapak Alfonsus Agen dan almarhumah Ibu Bernadeta Deta ini sama sekali tak keberatan dipanggil dengan sebutan Romo, sebutan bagi umumnya gembala di tanah Jawa. Hal ini berkait erat dengan pengalamannya menggembala umat di ibu kota. Tercatat dua kali ia ditempatkan di pulau Jawa dan dalam kurun waktu itu juga ia merasakan berkat yang sungguh pekat dalam kehidupan imamat. Setidaknya dataran Eropa baik timur maupun barat telah dijelajahinya, beberapa negara di Asia telah disambanginya, dan berbagai pengalaman tak biasa telah  dirasakannya, termasuk pengalaman berakting dalam sinema elektronika mini bertajuk rohani. Ya, semua hal itu sangat disyukurinya sebagai buah dari kehidupan menggembala.

Ditanya soal perspektif memandang dunia pendidikan yang kini dibawahinya dan relevansi dengan kondisi saat ini, dengan lugas ia bertutur, “Pendidikan sangat penting karena pendidikan membuka wawasan pikiran. Sesuai dengan moto pendidikan di sini, Non schole sed vitae discimus, kita belajar bukan untuk sekolah melainkan untuk hidup. Dengan sekolah orang membuka pikiran, dan tentu dengan pikiran yang terbuka kesuksesan dalam hidup dapat diraih. Untuk suasana real di lapangan sendiri zaman dulu jauh berbeda dengan sekarang. Sekarang terasa semangat studi sangat lemah padahal sekarang kompetitifnya lebih susah. Setiap hari ada kasus. Ada sifat melawan dari anak, cuek, menyukai hal-hal praktis. Memang tidak semua siswa bersikap seperti itu, tapi yang sedikit itu bisa memengaruhi yang lain karna itu masalah ketika hidup dalam lingkungan sosial. Tapi itulah tantangan. Tapi bisa kita lihat hasilnya, tamatan dari Nyarumkop akan lain karena mereka tinggal di asrama” ujarnya mantab.

Disoal mengenai harapan ke depan tentang dunia yang kini dalam asuhannya, ia menyatakan sangat memendam asa bahwa Persekolahan Katolik Nyarumkop dapat lebih eksis dan mampu bersaing dengan sekolah lain. Selain itu pendidikan tidak berjalan sepihak dalam artian antara pendidik, yang dididik, dan pihak keluarga dapat kooperatif dalam membentuk manusia berkarakter mulia. 

Kini ia berada nun di timur Kota Amoy, bertenang diri dan mengabdi sebagai pemimpin umum Persekolahan Katolik Nyarumkop. Menjamin keberlangsungan segala hal yang berkait dengan pendidikan di persekolahan yang berdiri lebih dari seabad yang lalu tetap berjalan dengan baik dari jenjang Taman Kanak hingga Topang. Selamat bertugas, Romo. Semoga selalu sehat dan bersemangat dalam panggilan imamat dan dalam tugas-tugas berat. (Hes)

Riwayat Pendidikan 

SDN Ketori (1973 - 1979)
SMP Gunung Bengkawan (1979 - 1981)
SMA Seminari Santo Paulus Nyarumkop (1981 - 1984)
Tahun Persiapan/Retorika, Pematang Siantar (1984 - 1985)
Novisiat Parapat (1985 - 1986)
STFT St Yohanes (1987 - 1991)
Tahun Orientasi Panggilan, Menjalin (1991 - 1992)
STFT St Yohanes (1992 - 1994)

Kegembalaan

Tahbisan Imam 20 Oktober1994 di Laverna, Sanggau.
Ngabang (1994)
Nyarumkop (1995 - 1997)
Paroki Tebet, Jakarta (1997 - 1999)
Postulat Sanggau (1999 - 2003)
Pos Novisiat Singkawang (2003 - 2004)
Tirta Ria, Pontianak (2004)
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah (2004 - 2007)
Paroki Tebet, Jakarta (2007 - 2012)
Biara San Lorenzo, Pontianak (2012 - 2016)
Pimpinan Umum Persekolahan Katolik Nyarumkop (2016 - sekarang)          

Allah Peduli!

Allah Peduli!

“Allah mengerti, Allah peduli, segala persoalan yang kita hadapi. Tak akan pernah dibiarkannya, kubergumul sendiri, sebab Allah peduli”

Penggalan syair dari lagu Allah peduli itu, sudah ratusan kali terngiang di telingaku. Selama itu  pula penggalan syair yang sudah sangat akrab denganku itu berlalu begitu saja. Bahkan aku sudah seringkali menyanyikannya. Tetapi kali ini syair lagu itu terasa lain. Seolah-olah ia mau menyampaikan sesuatu kepadaku. Sejenak aku dibawanya untuk berdiam diri, bermenung sebentar dan mengamini apa yang dikatakannya: bahwa Dia benar-benar hadir dan peduli kepada semua manusia, termasuk juga diriku.

Sangat mungkin nada lagu itu terasa berbeda dan sangat berbicara kepadaku karena dinyanyikan oleh warga binaan Lapas Singkawang. Padahal suara mereka tidaklah istimewa. Kalau boleh disebut malah jauh dari merdu. Apalagi hanya diiringi oleh petikan gitar yang kadang terasa sumbang. Tetapi boleh jadi karena warga binaan menyanyikannya dengan sangat ekspresif, mereka seperti menjiwai dan larut dengan isi dari lagu itu. Perasaan mereka terwakili oleh syair lagu Allah Peduli. Tanpa harus mereka katakan aku bisa membaca perasaan mereka bahwa dalam keterbatasan hidup di dunia lapas mereka sungguh mengalami kepeduliaan Allah. Di tengah keterpurukan hidup mereka tetap melihat adanya secercah harapan bahwa Allah tidak meninggalkan mereka.  Sesekali kulirik dari meja altar terlihat beberapa warga binaan justru membawakan lagu itu dengan memejamkan mata, sambil menengadahkan tangan ke atas, seperti mau menggapai sesuatu nun jauh di sana.

Lagu Allah Peduli dibawakan saat jeda komuni, ketika umat yang hadir di kapel  lapas sedang bersujud syukur atas kehadiran-Nya dalam rupa sakramen Ekaristi.  Syair lagu itu menambah khusyuknya suasana doa.  Sambil mendengarkan lagu itu, aku pun duduk diam dan bermenung. Dalam diamku aku mencoba berwawanhati dengan Tuhan. “Ah Tuhan, betapa sering aku melupakan diri-Mu. Aku tidak sadar bahwa Engkau sebenarnya peduli denganku. Sejatinya aku malu dengan mereka ini. Bagaimana mereka yang pergerakannya serba terbatas, hidup terkurung di balik jeruji besi, toh masih bisa merasakan dan mengalami kepedulian-Mu. Sementara aku yang hidup dengan bebas kadang malah tidak sadar bahwa Engkau sangat memperhatikan diriku. Ajari aku Tuhan, untuk sedikit mensyukuri kepedulian-Mu kepadaku”.

Lama aku berdiam diri, sampai aku tersadar bahwa lagu komuni itu telah usai. Dengan tenang aku pun melanjutkan tugasku mengakhiri misa Paskah bersama warga binaan. Aku yakin warga binaan yang beragama Katolik hari itu mengalami anugerah istimewa karena dalam masa Paskah ini mereka boleh menyambut tubuh Kristus sebagai Sang Pembebas yang sejati. Itulah kepedulian Allah yang sangat nyata mereka rasakan. Di sisi lain aku sendiri pun menimba pelajaran hidup yang sangat berharga. Lewat warga binaan aku diundang untuk selalu menyadari bahwa Allah sungguh peduli akan kehidupanku. Terimakasih Tuhan atas rahmat Paskah yang sangat istimewa ini. (Gathot)


Baptis dan Komuni Pertama di Stasi SP 1 Capkala

Baptis dan Komuni Pertama di Stasi SP 1 Capkala



Minggu Prapaskah I, sore menjelang malam, 5 Maret 2017, Pastor Paroki, P. Stephanus Gathot, OFM Cap berkenan membaptis dan menerimakan Komuni Pertama di Stasi SP 1 Capkala. Walau perjalanan menuju Stasi tidak begitu mengenakkan, berbatu-batu tajam, lumpur, dan licin karena dari siang hingga sore sempat diguyur hujan deras, namun tidak menyurutkan semangat pastor untuk mengunjungi dan melayani umat yang sudah menanti kehadiran beliau di kapel. Sebanyak dua puluh lima orang dari anak-anak dan dewasa yang telah dipersiapkan oleh We’ Daniel, We’ Ronal, dan pak RT untuk menerima Sakramen Baptis dan Komuni Pertama, tetapi yang diberi kesempatan untuk komuni pertama hanya 20 orang, 5 orang sisanya ditunda untuk komuni pertama karena masih bayi dan anak-anak yang belum cukup dewasa. 



Pastor Paroki menekankan tentang tanda pertobatan kepada umat terutama kepada para peserta calon baptis dan komuni pertama bahwa jati diri manusia itu adalah debu seperti dalam lagu pembukaan yang telah dinyanyikan umat “Hanya debulah aku di alas kaki-Mu, Tuhan ….” Karena manusia itu lemah dan rapuh yang mudah tergoda dan jatuh ke dalam dosa. Dengan itu orang berdosa hendak mengungkapkan penyesalannya dan memohon belas kasih serta pengampunan dari Allah dengan jalan berpuasa, berpantang, berdoa, dan beramal. Prapaskah adalah masa pertobatan di mana masa ini dimulai pada hari Rabu Abu. Pada hari itu dahi ditandai dengan abu. Pastor mengajak umat untuk menerima tanda abu di dahi sebagai tanda pertobatan dan percaya kepada Injil.

Masih dalam pengantarnya, pastor juga mengajak umat bersyukur karena telah mengantar mereka yang dibaptis sekaligus menyambut komuni pertama ini ke pangkuan gereja sehingga semakin bertambahlah umat di Stasi SP 1 Capakala yang masuk dalam komunitas Gereja Katolik. “Bagi mereka yang mempersiapkan dirinya untuk menerima Sakramen Pembaptisan dan   Komuni Pertama masa Prapaskah menjadi masa persiapan yang lebih mendalam untuk menjadi murid Yesus Kristus secara resmi, karena masa ini merupakan kesempatan untuk semakin mendalami dan menanamkan benih iman agar berkembang dan menghasilkan buah,” ujar pastor. 


Pastor juga mengingatkan dan mengajak umat untuk mengenang, merenungkan kembali kisah sengsara penyaliban dan wafat Yesus Kristus setiap hari Jumat di kapel atau di gereja pada waktu sore atau malam hari. Itulah tujuan mengapa gambar-gambar 14 peristiwa kisah sengsara Yesus dipajang pada dinding ruang kapel atau gereja. Sebagai pengganti khotbah, Pastor membacakan Surat Gembala APP Keuskupan Agung Pontianak 2017 yang bertemakan  Membangun Keluarga Kristiani Berdasarkan Nilai Rumah Panjang yang Injili Menuju Keutuhan Ciptaan. Usai membacakan Surat Gembala, Ekaristi dilanjutkan dengan prosesi pembaptisan. Suasana perayaan Ekaristi berlangsung khidmat dan berjalan baik hingga selesai. Dengan penuh kegembiraan dan sukacita umat bersalaman mengucapkan selamat kepada baptisan dan komuni pertama. Sebagai ungkapan rasa syukur, kegembiraan, terima kasih, dan sukacita itu dilanjutkan dengan makan bersama di rumah kediaman We’ Daniel.

Semoga berkat Sakramen Baptis dan Komuni Pertama (Sakramen Ekaristi), semakin membuat umat rajin ke gereja setiap hari Minggu, rajin berkorban untuk sesama, dan mencintai Yesus di atas segala-galanya. Diharapkan juga dorongan, dukungan dan tanggung jawab orang tua dalam keluarga. Jika orang tua tidak peduli dengan perkembangan iman anak-anaknya, maka iman mereka akan semakin kerdil, tidak berkembang, tak berbuah, layu, dan akhirnya mati.
Profisiat!  (Anton Martono)








































4 Jun 2017

Rekreasi Persaudaraan Keluarga Besar Fransiskan-Fransiskanes Singkawang

Rekreasi Persaudaraan Keluarga Besar Fransiskan-Fransiskanes Singkawang


Pada Senin, 1 Mei 2017, bertepatan dengan  hari libur nasional dalam rangka memperingati Hari Buruh Nasional (May Day), keluarga besar Fransiskan-Fransiskanes Singkawang, KEFAS yang terdiri dari para suster SFIC, suster SFD, Bruder MTB, Saudara Kapusin (OFMCap.) dan saudara-saudari dari OFS (Ordo Fransiskan Sekular) di Kota Singkawang, berkumpul dan memanfaatkan waktu liburan dengan mengadakan rekreasi bersama. Kebersamaan dalam persaudaraan Fransiskan ini didukung oleh kehadiran sejumlah besar peserta utusan dari berbagai komunitas dengan jumlah kurang lebih 60 peserta. Rekreasi kali ini tidak jauh berbeda dengan rekreasi tahun-tahun sebelumnya. Berbagai macam acara telah disiapkan oleh panitia kecil jauh sebelum diadakannya acara. Hal terpenting yang harus dilakukan oleh panitia adalah menentukan tempat rekreasi. Tempat yang telah dipilih sebagai tempat pelaksanaan rekreasi persaudaraan kali ini adalah Pantai Kura-kura (Kura-kura Beach) yang terletak di Kecamatan Sungai Raya Kepulauan, Kabupaten Bengkayang. 

Kegiatan-kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah Misa Syukur. Misa Syukur menjadi sumber dan puncak iman Kristiani. Misa Syukur ini ditimba bersama oleh keluarga Fransiskan sebagai sumber kekuatan dan awal dari tugas perutusan dalam mewartakan kabar gembira kebangkitan Tuhan. Dalam misa syukur ini, persaudaraan Fransiskan mendapuk P. Agustinus Subagyo, OFMCap sebagai Selebran Utama. Dalam khotbahnya, P. Agus menggarisbawahi pentingnya kebersamaan dalam mengikuti Yesus yang bangkit. Kebersamaan ini bertujuan untuk memurnikan dan menyempurnakan motivasi sebagai pengikut Kristus. Terlebih dalam persaudaraan Fransiskan, kebersamaan bukan hanya sekadar ada dalam persaudaraan, melainkan pelengkap sekaligus penyempurna hidup sebagai satu keluarga yakni keluarga besar Fransikan.  Oleh karena itu, keluarga Fransiskan patut bersyukur, karena sampai saat ini, keluarga Fransiskan masih tetap utuh berkat kesatuan dan kebersamaan sebagai satu keluarga.


Setelah mengikuti perayaan Ekaristi bersama, kegiatan selanjutnya ialah Games and ice breaking alias permainan. Permainan kali ini dimotori oleh Br Gregorius, MTB dan Fr Diego, OFMCap. Kedua saudara ini telah mempersiapkan berbagai macam permainan dan dikuti oleh peserta rekreasi, di antaranya: baris-berbaris ala’ Fransiskan, estafet tali, estafet bola pimpong, estafet balon, dan balon dangdut. Permainan cukup menarik dan menantang. Semua larut dalam kegembiraan dan tentunya tetap berpegang pada satu titik tujuan yakni kebersamaan bukan persaingan. Inilah indahnya persaudaraan Fransikan, kegembiraan dan kebersamaan menjadi tolok ukur dan tujuan sebuah permainan, bukan kalah atau menang.

Acara puncak rekreasi persaudaraan adalah santap siang bersama dan mandi-mandi di pantai. Acara santap siang bersama ini dipersiapkan oleh para saudara-saudari OFS dengan berbagai macam kuliner ala’ Fransiskan. Usai santap siang, saudara dan saudari Fransikan terlihat antusias dalam mengembangkan bakat-bakat petualangnya berenang di pantai guna menerapkan gaya hidup Fransiskan yang ramah lingkungan terlebih dengan alam ciptaan. Sekaligus menjawab salah satu tugas perutusan sebagai murid-murid Kristus yakni mewartakan semangat persaudaraan dan sukacita Fransiskan di tengah-tengah dunia zaman sekarang. Pace e bene. (Ditulis oleh Fr Diego, OFMCap.)

 


Karena Tuhan Lebih Dulu Setia

Karena Tuhan Lebih Dulu Setia

 
16 April merupakan ‘tanggal yang cantik’ bagi keluarga Fransiskan karena pada tanggal itu para pengikut Santo Fransiskus dari Assisi diperkenankan membaharui janji kesetiaan mereka kepada Tuhan dan Gereja. Tahun ini para Fransiskan/Fransiskanes kota Singkawang yang tergabung dalam KEFAS (Keluarga Fransiskan Singkawang) tidak mau ketinggalan momen yang sangat spesial ini. Mereka berkumpul bersama di kapel Rumah Sakit Khusus Alverno untuk membaharui janji yang pernah mereka ucapkan. Tetapi karena 16 April adalah Hari Raya Paskah, maka ‘hajatan’ tersebut ditunda sehari sesudahnya.

Kali ini Pastor Stephanus Gathot didaulat untuk mempersembahkan Ekaristi bagi KEFAS.  Dalam pengantarnya pastor Paroki Singkawang ini mengingatkan akan nilai dari sebuah janji. Menurut pandangan Kitab Suci nilainya tidak terletak pada banyaknya atau hebatnya isi dari janji itu. Tetapi lebih ditentukan oleh sejauh mana yang berjanji  itu berusaha menepati janji yang diucapkannya. 

 “Tidak ada gunanya menebar janji, jika tidak mampu menepatinya,” kata Pastor Gathot di awal pengantarnya. “Kita bisa merujuk Hakim Yefta sebagai inspirasi hidup kita. Sebagaimana dikisahkan dalam Kitab Hakim-Hakim, Yefta berjanji untuk mempersembahkan kepada Allah apa saja yang pertama kalinya menyongsong dia bila ia berhasil mengalahkan Bani Amon. Ternyata Allah mengabulkan permohonannya dan ia berhasil mengalahkan Bani Amon. Ketika ia pulang ke rumah, yang keluar untuk pertama kali menyongsongnya adalah putri tunggalnya sendiri. Betapa hancur hati Yefta.  Pesta kemenangan berubah menjadi pesta kesedihan. Karena sudah menjanjikan, Yefta tetap berpegang teguh pada nazarnya. Ia mempersembahkan putri tunggalnya kepada Allah. Dan itulah nilai dari sebuah janji; menepati apa yang pernah dijanjikannya.”

Terkait dengan janji yang mau dibarui oleh para Fransiskan/Fransiskanes, Pastor Gathot mengajak semua yang hadir untuk sadar akan apa yang pernah diucapkan dan sekarang mau dibaharui. “Sebagai manusia yang tidak luput dari kelemahan, kemungkinan besar kita akan jatuh dan lebih sering tidak setia. Tetapi ini bukan alasan bagi kita untuk mundur karena sejatinya Allah telah lebih dulu setia kepada kita,” pungkas Pastor Gathot dalam pengantarnya.

Pembaharuan janji kali ini dilakukan oleh para saudara Kapusin, Para Suster SFIC, para Bruder MTB dan para Saudara/Saudari OFS, minus para rubiah OSCCap. Kesempatan ini juga digunakan untuk beranjangsana kepada para sustser  SFIC yang berkomunitas di Susteran Alverno. Selamat membaharui janji. Semoga tetap setia dan bahagia dalam panggilan karena Allah telah lebih dulu setia. (Sgp)

“Ceng Beng” di Pemakaman Katolik Singkawang

“Ceng Beng” di Pemakaman Katolik Singkawang

 

 

Setelah memarkir sepeda motor atau mobilnya, satu per satu umat Katolik berjalan menuju patung dan salib yang menjadi sentral pemakaman Katolik Singkawang. Tangan mereka dipenuhi dengan aneka barang bawaan; rangkaian bunga segar atau bunga tabur, air mineral dalam kemasan, dan lilin. Barang bawaan itu dimaksudkan sebagai sarana untuk merayakan ibadat arwah di makam. Sebelum dibawa ke makam barang bawaan tersebut mereka letakkan di bawah kaki salib untuk diberkati. Sementara itu tiga gawang tenda hijau sudah terpasang mengelilingi salib sebagai tempat bagi umat untuk berhimpun. Maklum cuaca kota Singkawang sedang tidak bersahabat. Panasnya kadang sangat menyengat, atau tiba-tiba bisa saja hujan mengguyur dengan hebat.

Sore itu, Selasa 4 April 2017 memang terlihat adanya pemandangan berbeda di pemakaman Katolik Singkawang. Umat Katolik dari berbagai penjuru, bahkan beberapa ada yang berasal dari ibukota Jakarta, menyempatkan diri untuk hadir di pemakaman dengan satu tujuan yang sama; mendoakan arwah sanak keluarga yang sudah meninggal dan dimakamkan di pemakaman Katolik Singkawang. Menurut informasi yang sempat digali cikal bakal peringatan arwah ini ditemukan dalam tradisi orang Tionghoa yang merayakan sembahyang kubur atau yang biasa dikenal dengan istilah Ceng Beng. Pada perayaan tersebut banyak orang Tionghoa dari berbagai tempat pulang kembali ke Singkawang untuk berziarah ke pemakaman yang tersebar di kota Singkawang. Gereja Katolik Singkawang secara khusus memandang baik bahwa pada saat yang sama juga dirayakan ibadat arwah di pemakaman katolik Singkawang supaya para arwah yang disemayamkan di pemakaman Katolik juga didoakan. Perayaan ini memang tidak ditemukan dalam penanggalan liturgi Gereja Katolik sehingga bisa dikatakan sebagai salah satu bentuk kearifan lokal Paroki Singkawang. 

Tepat pukul tiga sore ibadat arwah dimulai. Perayaan kali ini dipimpin oleh Pastor Stephanus Gathot. Dalam kotbahnya yang mengacu pada kisah kebangkitan Lazarus, Pastor Paroki Singkawang ini menunjukkan adanya harapan akan kebangkitan orang mati. Bahwa hidup manusia tidak hanya berakhir di dunia ini. Bagi orang beriman ada kelanjutan hidup ‘di seberang sana’, dan itulah hidup yang sebenarnya. Keyakinan iman ini didasarkan pada sabda Tuhan sendiri yang menunjuk diri-Nya sebagai kebangkitan dan kehidupan. Barangsiapa percaya kepada-Nya akan memiliki hidup abadi.

“Untuk itulah kita datang dan berziarah ke makam ini. Kita mau mengungkapkan iman akan kebangkitan dan kehidupan bagi saudara-saudari kita yang telah berpulang. Kita mengetuk pintu belas kasih-Nya supaya mengikutsertakan mereka dalam keabadian. Apa yang kita bawa sebenarnya merupakan simbol akan penghayatan iman tersebut. Bunga menjadi simbol akan keharuman amal saudara-saudari kita. Lilin-lilin yang nanti akan kita nyalakan merupakan harapan kita akan kehidupan kekal yang senantiasa bernyala. Dan air yang diberkati melambangkan sakramen permandian yang telah diterima oleh saudara-saudari kita,” kata Pastor Gathot mengakhiri kotbahnya.
Ibadat dilanjutkan dengan pemberkatan bunga, lilin dan air mineral. Lagu penutup menjadi tanda pungkasan ibadat.  Umat pun segera mengambil barang bawaannya yang telah diberkati. Dengan tertib mereka segera menuju ke makam saudara-saudarinya. Di hadapan nisan saudara-saudarinya mereka menghaturkan doa; memohon belas kasih Allah bagi saudara-saudari yang telah berpulang. 

“Ceng beng” di pemakaman Katolik Singkawang menjadi ritual tahunan yang senantiasa dirayakan. Harapan yang selalu dilambungkan adalah semoga arwah saudari-saudari menikmati kehidupan kekal. (Sgp)