CIUM PERTOBATAN DAN CINTA KASIH
Dony….! Dony…! Ada apa kamu, Nak?
Apa salahku!
Kamu tidak pernah mengubah sikapmu! Dengarkan saya!
Teriakan mamaku tidak kupedulikan. Aku cepat-cepat masuk ke dalam mobil. Dari kejauhan aku juga melihat papa dengan wajah kecewa. Dan mama lari ke dalam rumah sambil menangis dengan kuat. Tapi aku tak peduli situasi di pagi itu. Yang jelas aku mau ingin lari dari rumah. Aku lebih memilih bergabung dengan rekan-rekanku ketimbang situasi di rumah yang bak kapal pecah. Yeahh, aku memang anak remajayang beranjak dewasa yang tak sudi diatur seperti anak kecil lagi. Omelanku menggoda temanku di mobil hingga mereka tertawa terbahak-bahak.
“Haaa, Dony..Dony…Dony… Kamu memang pandai akting di rumah”, sambung Denis.
“Ngapain kamu bersikap seperti itu dengan papa dan mamamu! Kitakan bukan anak kecil lagi! Haaa…hari gini masih ada ya gaya nasehat seperti itu haaa!”, ejekan Tony semakin memojok perasaanku saat itu.
“Sialan kalian! Busyet! Sudahlah pokoknya aku mau bebas kayak kalian!”, teriakku.
Ketika malam hari aku pulang ke rumah, dan keluarga tetap dengan ramah mengajak aku untuk makan bersama di malam itu. Aku begitu lahap dengan menu yang disediakan oleh mama. Tetapi rasanya ada yang tak beres dalam kebersamaan dengan mereka. Menu mie pangsit pun terasa pahit bagiku. Sungguh ada yang ga beres dengan orang tuaku. Aku terlalu egoiskah?, pikirku dalam hati. Tetapi mengapa papa memandang saya dengan tatapan menuduh? Sadis benar sih Papa nih! Batinku saat itu sambil melirik ke piring adik sebelahku. Mengapa tak ada satu pernyataanpun yang keluar dari papa kalau aku telah mengecewakan mereka? Papa diam penuh misteri. Aku pikir biarlah papa dan mama semakin jauh dariku. Untuk apa aku menikmati malam bersama keluarga, tak ada satu senyumpun yang bisa menghiasi makan malam saat itu. Aku semakin cuek dan sepertinya memang sengaja aku akting tidak peduli di hadapan mereka.
“Papa dan mama tak pernah memahami perasaanku”. Aku dikekang seperti di penjara saja hidup ini. Papa selalu mengintip saya dari balik tirai saat aku asyik tidur-tiduran di sofa. Sambil tertawa ria aku chating dengan teman-temanku, untuk mengimbang kejengkelan terhadap sikap papa.
“Bro… Dony.. Let’s go, Boy!”, teriakan satu team basket memanggilku dengan gembira di pagi itu.
Tiap hari kerjaku hanya kumpul dengan teman-teman tanpa memikirkan bagaimana masa depanku nanti. Hari itu juga semaki lesu semangat hidupku. Aku kecewa dengan timku. Kompetisi basket kali ini kalah lagi, padahal persiapan kita udah satu tahun.
“Wahh kalian mematahkan semangatku coi…”, tulis statusku di twitter, mengundang kicauan miring dari dari teman-temanku.
Tiba-tiba, pintuku kamar digedor,
“Ini sudah tengah malam Dony! Jam segini orang sudah tidur! Malahan kamu asyik dengan handphone tanpa menghiraukan apapun!
Kata-kata papa seperti sambaran petir di telingaku. Entah setan apa yang menggodaku malam itu aku langsung mendorong pintu kamar dan melemparkan buku yang ada di meja belajar di kamarku kea rah wajah ayah.
“Anak durhaka kamu ya, keluar. Dan jangan ada tanpangmu lagi di rumah ini!”
Aku cepat lari dan lompat lewat jendela belakang rumah dan untungnya ada temanku yang bersedia memberi tumpangan tidur bagiku di malam itu.
“Huhhh…, kalau ga konflik seperti ini, belum tentu aku kuat menghadapi masalahku. Aku juga tidak tahu bagaimana cara menghadapi permasalahannya!”, runtukku dalam hati sambil menghisap sebatang rokok kesukaanku.
Aku tak bisa tidur hingga pagi memikirkan kemarahan papa.
“Tak bakal kulupakan selamanya peristiwa ekstrim ini!”, terikan suaraku begitu meggema hingga temanku terbangun dari lelap tidurnya di saat itu.
“Aku harus mandiri! Aku tidak mau merepotkan mereka lagi.”, aku berjanji demi rasa kehormatan sebagai remaja yang bertanggung jawab atas hidupku.
Keesokan harinya aku berangkat kerja. Kerja di bangunan hotel begini, aku tidak suka. Kesalku sambil mengepalkan tangan di dadaku.
“Tuhan jangan menguji aku, dong! Mengapa memberikan pekerjaan seperti ini! Lepaskan aku dari derita ini!”, gugatku pada Tuhan di pagi itu.
“Jujur bahwa aku ingin suatu tantangan baru sesuai dengan kemampuaku. Aku merasa tidak nyaman dengan pekerjaanku saat ini. Ini bukan pilihanku. Aku sebenarnya di dunia panggung hiburan. Dunia entertaiment. Entah kenapa nasibku bisa berubah seperti ini. Tetapi aku tetap bersyukur kepada Tuhan karena hampir setahun aku menjalaninya meskipun hatiku berontak atas nasib ini.”, gerutuku sambil membolak balik album kenangan bersama keluarga besarku.
Suatu hari, aku mengalami despresi. Aku mulai membayangkan kasih sayang papa dan mama di masa kecilku. Aku merindukan lagi sosok Papa yang adalah seorang dokter dan penuh perhatian kepadaku. Aku ingin lagi papa yang setia mengajarkanku berjalan, berlari, hingga menjadi pengemudi yang handal. Kenangan itu menjadi kilas balik yang tidak bisa terulang lagi. Saat itulah aku baru sadar kalau aku jatuh dari hotel lantai tiga dankala itu posisiku di rumah sakit.
“Tidak! Tidak! Oh no! Tidak dokter, aku tidak mau hidup seperti ini! Aku tidak siap menerima penderitaan ini!”, jeritku ketika dokter dan perawat meninggalkan aku sendirian di kamar. Aku berjuang sekuat tenaga melepas infus yang menggangguku bernapas.
“Aku mau mati, Dok! Aku tidak mau mengecewakan orang yang mencintaku selama ini! Papa… Mama… di mana kalian! Kalian jahat! Kenapa kalian melahirkan saya dengan menderita seperti ini!”, umpatku.
Setiap pagi aku diterapi oleh dokter untuk bisa berjalan normal seperti biasa, namun sakitnya luar biasa, seperti sendi terlepas semua dari sambungan otot kakiku. Sungguh Tuhan mengujiku dengan menderita seperti ini. Apakah Sakitku ini sebagai awal pertobatanku?. Apakah melalui derita orang baru bertobat? Gumulku dalam hati sambil mata memandang kosong di rumah sakti saat itu. Makanan yang mama bawapun tak kusentuh.
“Pulang kalian! Pulang! Aku tidak butuh kasih sayang kalian! Biarkan aku sendiri di sini!”, teriakku.
Aku melihat mama dengan air mata berlinang dan tak bisa dibendung lagi untuk merangkulku. Aku merasakan benar dekapan dan sentuhan tangan mama, seolah-olah tidak mau aku menderita berkepanjangan di rumah sakit.
Kira-kira pukul 09.00 pagi, tiba-tiba ada lelaki yang begitu kuat menggedongku dan mengajarkanku berjalan perlahan-lahan. Aku berteriak dengan keras,
“Jangan lakukan itu. Mendingan racuni aku supaya aku tidak hidup seperti ini.”
Aku digendong dari rumah sakit dan direbahkannya tubuhku di kamar yang begitu lama aku tinggalkan. Lelaki itu ternyata papaku. Teriakanku semakin kuat hingga Papa tidak mau lepas tanganku dari dekapannya.
“Please… Papa lepaskan aku dari gendonganmu! Papa… Mama…. ! Aku minta maaf!.” Aku berjalan terseok-seok menuju meja makan. Menu itu ternyata menyadarkanku kalau hari itu adalah hari kebersamaan keluarga besarku. Menu Sam sip puam adalah menu yang istimewa dalam perayaan hari itu.
“Pa. Ma.. Akong.. Ama…Cece, Dede’, makan ya. Maafkan aku untuk segalanya.”, ujarku.
Hari itu menjadi sukacita yang terbesar dalam hidupku dan memang di hari Imlek itulah aku merasa sukacita kasih sayang Tuhan dan Orang tuaku.
“GONG XI FA CAI” ke 2566 ya, Papa dan Mama”.
Ku cium tangan mereka dengan penuh cinta kasih, sebagai cium pertobatan dan cinta kasihku pada mereka. (bruf)