Natal: Saat untuk Berbagi
Google Images.Jpg |
Aloysius hanyalah seorang pengusaha warung sederhana di kampungnya. Selain berjualan bahan kebutuhan sehari-hari, ia juga membeli karet dari warga di sekitar rumahnya. Menjelang hari raya Natal, Idul Fitri dan Imlek, Aloysius menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk membeli bahan mentah pembuatan roti seperti mentega, terigu, susu kental manis, gula pasir, telur. Semuaya dikemas dalam paket-paket dan dibagikan kepada pelanggannya yang tidak mampu sesuai dengan keperluan mereka yang merayakan keyakinan agamanya. Kalau dihitung dengan rupiah nilainya tentu tidak seberapa. Tetapi ada makna di dalamnya, seperti pernah diucapkannya, “Untuk orang kampung yang tidak mampu merayakan Natal, Idul Fitri dan Imlek mempunyai arti tersendiri dengan membuat kue”. Begitu juga menjelang natal tahun 2014 ini Aloysius tidak lupa melakukan rutinitasnya; berbelanja bahan mentah pembuatan roti untuk pelanggannya yang beragama Kristen dan Katolik. Bagi Aloysius yang beragama Katolik, Natal bukan hanya sekedar perayaan ritual yang selesai di gereja saja, tetapi dia memaknainya lewat aksi nyata mau berbagi dengan saudara-saudarinya yang kurang mampu.
Bila ditengok peristiwa aslinya, makna Natal sejatinya adalah pemberian diri Allah. Dia yang maha segala-galanya rela memberikan diri-Nya dan menjelma menjadi manusia dalam diri Kanak-Kanak Yesus. Dialah Sang Imanuel: Allah beserta kita (Mat 1:23). Itulah yang terjadi pada natal pertama di Betlehem yang jauh dari hingar bingar pesta dan kemewahan. Dengan menjadi manusia Allah melakukan aksi nyata; setiakawan dengan manusia. Bahkan Dia hadir dalam sosok bayi yang papa-miskin.
Kalau mau, sebenarnya Allah bisa saja menyapa manusia dari surga. Maksudnya Dia tetap tinggal di surga sana, sedangkan manusia di dunia ini. Ibaratnya ketika mau menghubungi manusia Allah cukup menekan alat semacam remote control saja. Allah tidak perlu “repot-repot” turun ke dunia. Apalagi menjadi manusia segala. Tetapi “jalan aman” itu tidak dipilih oleh Allah. Justru Dia menggunakan jalan dengan “merepotkan diri-Nya” dan menjadi manusia. Mengapa Allah rela berbuat semua itu? Jawaban satu-satunya adalah karena Dia sangat mencintai kita. Di mata Allah kita semua sungguh berharga. Dia tidak rela kita menjadi binasa. Maka Dia datang dan hadir di tengah-tengah kita agar kita memperoleh hidup, bahkan hidup dalam segala yang kelimpahan (Yoh 10:10).
Lalu bagaimana kita bisa memaknai natal? Penting artinya kita kembali kepada semangat natal pertama. Ketika melihat kandang atau gua natal pandangan kita harus bisa menembus dan merenungkan apa yang sebenarnya terjadi di sana. Kita tidak boleh larut dengan perayaan natal yang diwarnai oleh gemerlapnya pesta dan hingar bingar kemewahan. Kita juga tidak boleh tinggal dalam keagungan peribadatan di dalam Gereja. Memang peristiwa natal sering membuat kita hanyut dalam suasana romantis. Tetapi itu bukanlah makna natal yang sebenarnya. Makna natal harus bersambung dalam hidup sehari-hari. Natal harus menyapa umat manusia karena sejatinya natal tidak sama dengan pesta pora. Natal juga bukan sekedar perayaan liturgis semata. Natal adalah “sapaan” Allah kepada kita. Dia memberikan diri-Nya secara nyata kepada kita.
Seperti Allah yang beraksi nyata kepada kita, begitu pula kita diundang untuk mengadakan aksi yang sama kepada sesama. Natal baru mendapatkan artinya yang penuh kalau kita mau berbagi dengan sesama, terutama mereka yang serba berkekurangan. Apa yang harus kita bagikan? Bukan terutama berbagi barang atau harta kekayaan. Tetapi kita diajak untuk berbagi perhatian dan cinta. Tuhan telah memberikan kepada kita masing-masing hati untuk mencintai dan tangan untuk melayani. Dengan itulah kita mewujudkan aksi pemberian diri lewat tindakan mencintai dan melayani. Natal menjadi saat yang indah untuk berbagi. Selamat Natal 2014 dan Tahun Baru 2015. Mari kita saling berbagi cinta dan pelayanan! (Gathot)